Gorontalo Utara – SuaraIndonesia1.Com, Isu penebangan liar ekosistem mangrove kembali mencuat, menyusul maraknya pemberitaan mengenai kawasan mangrove yang tersebar di beberapa wilayah di Kabupaten Gorontalo Utara.
Dikutip dari sember SuaraIndonesia.Com edisi 16 Juli 2025, lebih dari 2.000 hektare ekosistem mangrove tersebar di Desa Ibarat, Ilangata, Tanjung Karang, dan Leboto, Kecamatan Anggrek, yang saat ini tengah menjadi perhatian pemerintah.
Namun berbeda halnya dengan kondisi di Desa Garapia, Kecamatan Monano. wilayah ini diduga menjadi lokasi maraknya penebangan mangrove secara ilegal, yang ironisnya justru terkesan diduga dibiarkan oleh pihak pemerintah desa setempat.
Sejumlah pemberitaan dan pernyataan di beberapa berita menyebutkan, bahwa kebijakan konservasi seperti menjadikan Mopomulo sebagai bagian dari kurikulum pendidikan lingkungan dan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Mangrove tingkat kabupaten telah digaungkan oleh pemerintah daerah.
Langkah tersebut dimaksudkan untuk memperkuat upaya pelestarian hutan mangrove sebagai ekosistem pesisir yang vital, namun, pemerintah Desa Garapia justru diduga mengabaikan seruan tersebut.
Bahkan, terdapat dugaan bahwa pihak pemerintah desa garapia tidak mau menggubris ataupun tidak mau memperduliakan peringatan dari pemerintah kabupaten melalui pemberitaan yang suda ber edar tersebut.
Termasuk pemberitaan yang beberapa hari belakangan ini oleh Wakil Bupati Gorontalo Utara membahas mengenai kelestarian kawasan mangrove bersama Tim terkait dari Provinsi gorontalo.
Ketidakpedulian ini memunculkan kekhawatiran dan kecurigaan akan adanya pembiaran terhadap aktivitas perusakan lingkungan.
Tindakan penebangan mangrove secara ilegal ini sejatinya merupakan pelanggaran hukum serius. dan beberapa dasar hukum yang mengatur pelarangan dan sanksi terhadap perusakan mangrove tersebut antara lain.
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b, Melarang setiap orang melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, Pasal 98 ayat (1), Menyebutkan bahwa pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dapat dipidana penjara 3 hingga 10 tahun dan denda antara Rp 3 miliar hingga Rp 10 miliar.
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 50 ayat (3) huruf e dan f, Melarang penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa izin dan perusakan prasarana perlindungan hutan. Pasal 78 ayat (5), Memberikan sanksi pidana hingga 10 tahun dan denda sampai Rp 5 miliar bagi pelanggar.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 33 ayat (3), Mengatur pidana maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp 200 juta bagi yang merusak kawasan suaka alam.
4. Peraturan Menteri LHK Nomor P.105/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Rencana Aksi Nasional Rehabilitasi Mangrove, yang memperkuat kerangka hukum pelestarian dan rehabilitasi ekosistem mangrove nasional.
Menanggapi Kondisi tersebut, Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan mendesak pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara untuk segera mengambil tindakan tegas. mereka meminta agar Kepala Desa Garapia segera diperiksa dan dicopot dari jabatannya.
“Kami memohonkan kepada Bupati Gorontalo Utara harus segera turun langsung ke Desa Garapia bersama tim Inspektorat dan BPK RI untuk melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan dan pelaksanaan Dana Desa dari tahun anggaran 2021 hingga 2025 di kantor desa garapia kecamatan monano," tutur aliansi
"Selain itu, perlu dilakukan pengecekan langsung terhadap kondisi dan pertumbuhan ekosistem mangrove di pesisir Kecamatan Monano khususnya mangrove di pesisir pantai desa garapia” tegas aliansi.
Aliansi juga menegaskan bahwa, pembiaran terhadap perusakan lingkungan hidup adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. dan jika tidak ada tindakan dari bupati gorontalo utara, Makah Tunggu Aksi kami di hadapan kantor bupati tersebut," pungkasnya