Skrinews.com_
Industri pariwisata nasional merupakan salah satu sektor yang terdampak oleh wabah covid-19. Padahal sektor industri pariwisata merupakan penyumbang terbesar kedua bagi pendapatan nasional indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa tempat pariwisata merupakan tempat dimana banyak sekali para wisatawan berkunjung, mulai dari wisatawan mancanegara hingga wisatawan lokal. Dampak dari wabah covid-19 ini menyebabkan menurunnya jumlah wisatawan yang berkunjung dan menyebabkan melemahnya sektor pariwisata di Indonesia. Sejak wabah covid-19 menyebar ke seluruh dunia, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia perlahan-lahan menurun. Secara kumulatif sejak Januari hingga Maret 2020, jumlah wisatawan yang datang hanya mencapai 2,61 juta orang atau turun drastis 30,62 persen, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yaitu 3,76 juta orang. Jika dibandingkan dengan bulan Februari, maka jumlah kedatangan wisatawan turun 45,50 persen, sementara jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu penurunan tercatat lebih drastis lagi, yaitu 64,11 persen. Melemahnya sektor industri pariwisata ini menyebabkan kerugian yang cukup banyak. Kerugian dari sektor pariwisata ini diprediksi mencapai 60 Triliun rupiah.
Mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar, dalam diskusi daring bertema “pariwisata di era new normal install ulang pariwisata indonesia,” Sabtu (9/5) menuturkan bahwa pandemi covid-19 ini mengubah tatanan sektor pariwata.
Tuturnya “menurut saya sebelum wabah covid-19, pariwisata Indonesia tidak sehat. Target 20 juta wisatawan, hanya dapat 16,1 juta. Selain itu, saat wabah melanda, tambah terpuruk. Sekarang penggunaan sistem teknologi meningkat, semua pakai online. Gunakan virtual,”
Seperti yang beliau tuturkan bahwa sebelum terjadinya wabah covid-19 pun sektor industri pariwisata sudah dalam kondisi yang tidak sehat. Dilihat dari pencapain jumlah wisata yang kurang dari target yang telah ditentukan. Ketika wabah covid-19 melanda justru semakin memperparah kondisi sektor pariwisata saat ini.
“perlu dilihat yang bisa adaptasi dengan protokol kesehatan yang mana, misal diving diatur dengan mudah, tidak perlu mass atau banyak. Nah kalau MICE, sport events, peserta atau penonton tidak ada. Berarti harus dicari modus baru agar tetap bisa dilakukan. Inggris, Itali, dan Spanyol melakukan virtual FI dan membuka latihan sepakbola. Ini memang peran teknologi tetapi orang tidak puas karena butuh banyak orang bersama dalam jarak berdekatan di lokasi yang sama” imbuhnya.
Dari yang dituturkan beliau memang benar bahwa saat ini teknologi berkembang pesat dan berperan penting apalagi di saat pandemi seperti ini. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa setiap orang pasti ingin berkumpul dan bersosialisasi secara langsung bukan melewati media elektronik saja.
Berbagai bisnis yang berhubungan dengan sektor pariwisata memilih untuk melakukan penutupan sementara selama wabah covid-19. Selain karena faktor melemahnya sektor pariwisata juga karena takut akan semakin menyebarnya wabah covid-19. Seperti bisnis perhotelan, penerbangan, biro perjalanan wisata, dan pengelola tempat wisata. Hal ini memicu kerugian yang signifikan. Lebih dari 2000 hotel tutup, begitu juga dengan bandara dan pelabuhan. Diketahui total kerugian akibat penghentian operasi bandara dan penerbangan yang berujung menerapkan kebijakan merumahkan pekerja industri pariwisata atau WFH, sejauh ini sudah mencapai $113 miliar dolar.
Praktisi perhotelan, Adi Satria, dalam diskusi yang digelar Ikatan Cendekiawan Pariwisata dan Fakultas Pariwisata Universitas Pacasila menuturkan tiga langkah bisnis perhotelan yang diharapakan dapat bertahan selama pandemi covid-19.
“bisnis perhotelan kami selain di Indonesia juga beroperasi di 95 negara dengan jumlah 5.000 hotel. Impact corona ini luar biasa. Kami harus mengubah bisnis model. Selama belum ada vaksin, sulit bagi pariwata tumbuh dan bertahan. Pengalaman kami bertahun-tahun dengan beragam keadaan terorisme, wabah flu burung, SARs, MERS, dan saat ini corona, harus beradaptasi,” papar Adi.
Tiga langkah bisnis perhotelan untuk tetap bertahan seperti yang dikatan Adi yaitu pertama, membantu 300 ribu pekerja perhotelan bertahan dengan menyiapkan 70 juta euro dana bagi yang berdampak financial distress. Kedua, bekerjasama dengan rumah sakit menyediakan hotel sebagai tempat karantina mandiri tenaga medis yang menangani covid-19. Ketiga, fokus terhadap wisatawan domestik karena penerbangan internasional saat ini masih berhenti sementara.
Selain upaya tersebut, perlu adanya program studi baru yaitu menggabungkan sistem pendidikan perhotelan dan rumah sakit seperti yang telah dikatakan oleh akademisi pariwisata Profesor Azril Azahari. Perlunya program tersebut guna menambah keamanan dan kenyamanan bagi sesama. Di sisi lain ada pendidikan medis dari pihak rumah sakit dan di sisi lainnya ada pemahaman pengelolaan perhotelan, sehingga saling menunjang satu sama lain demi menangani lemahnya sektor pariwisata di tengah pandemi ini.
Lalu bagaimana dengan nasib desa wisata yang juga ikut melemah? Pemerintah telah menargetkan jumlah desa wisata di tahun ini mencapai 10 ribu desa. Bagi Sapta Nirwandar, desa wisata menjadi jantung daerah yang menggerakkan perekonomian masyarakat. Menurut Sapta Nirwandar, social safety dan safety health menjadi kunci untuk desa wisata dapat bertahan di tengah pandemi saat ini.
Dari sisi pandang praktisi perhotelan, Adi Satria, pengelolaan desa wisata dapat bercermin pada sistem perhotelan dengan melonggarkan sejumlah standar prosedur. Yang artinya pengelola desa wisata bisa melakukan standar operasional seperti hotel tetapi tidak semua point dapat dijalankan. Harus disesuaikan dengan kondisi saat itu.
Itulah beberapa upaya yang sedang dilakukan oleh industri pariwisata demi tetap bertahan di tengah hebohnya wabah covid-19 ini. Tak dapat dipungkiri bahwa dampak yang ditimbulkan dari wabah covid-19 ini tidak tanggung-tanggung dan perlu adanya strategi penanganan yang serius. Sehingga perlu adanya perencanaan untuk membuat langkah penanganan yang tepat.