Zulkifli
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Malang
Skrinews1.com_
Gibran Rakabuming Raka, namanya sedang hangat-hangatnya diperbincangkan karena langkah yang diambilnya saat ini. Gibran memutuskan maju sebagai calon Wali Kota Solo di Pilkada serentak 2020 nanti. Tentunya ini merupakan sebuah keputusan yang sangat berani dan pastinya kontroversial, mengingat Gibran merupakan putra sulung dari Presiden Joko Widodo. Terlebih lagi beberapa tahun silam, Gibran pernah menyatakan bahwa ia enggan berpolitik. Namun hati seseorang tidak ada yang tahu. Walaupun diterjang isu dinasti politik, Gibran pun seakan tidak terlalu mempermasalahkan isu tersebut.
Seakan ditakdirkan untuk mengikuti jejak sang ayah, langkah Gibran pun seakan dipermudah dengan restu yang telah diberikan oleh PDI Perjuangan selaku partai politik tempat Gibran bernaung. Namun kejadian-kejadian kontroversial seperti tidak lepas dari perjalanan Gibran saat ini. Karena sebelum nama Gibran muncul di bursa pencalonan, DPC PDI-P Kota Solo sudah memutuskan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa yang akan diajukan ke DPP PDI-P untuk mendapatkan rekomendasi. Namun pada akhirnya Gibran dan Teguh Prakosa yang menerima rekomendasi partai untuk berlaga pada Pilkada Solo 2020. Terlepas dari kontroversialnya pencalonan Gibran sebagai calon Wali Kota Solo, lantaskah langkah politik yang ditempuh Gibran dapat dikatakan sebagai sebuah dinasti politik atau hanya sekedar hak berdemokrasi saja yang dimiliki oleh setiap warga negara?
Dinasti Politik
Dinasti politik adalah sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terikat dalam hubungan keluarga. Dinasti politik merupakan sistem politik yang berjalan hampir sama dengan seperti sistem kerajaan (monarki) sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak, yang tujuannya agar kekuasaan tetap berada di dalam lingkaran keluarga. Adanya dinasti politik sebenarnya tidak cocok untuk diterapkan di negara yang berbentuk demokrasi, karena adanya dinasti politik akan membuat partai politik hanya menjadi sebuah “mesin” politik, dimana rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg yang mana nantinya akan digunakan untuk meraih kemenangan. Tidak heran jika sekarang banyak sekali calon-calon instan yang bermunculan dari berbagai macam kalangan, seperti selebriti hingga pengusaha. Dinasti politik juga membuat proses kaderisasi yang dilakukan partai politik hanya berputar pada lingkungan elit tertentu saja, hal ini akan membuat kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas menjadi tertutup. Pada akhirnya dinasti politik akan membuat cita-cita demokrasi tidak akan dapat terwujud, karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Karena tidak menutup kemungkinan, dinasti politik akan membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Jika hal itu terjadi, maka fungsi kontrol kekuasaan akan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga akan membuka peluang untuk terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sebenarnya praktik dinasti politik pernah dilarang di Indonesia. Saat itu DPR dan Pemerintah pernah mengatur pembatasan pencalonan bagi keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah. Yang dituangkan dalam UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, salah satu pasal tersebut menyebutkan bahwa: “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Pasal itu secara jelas menjelaskan bahwa calon pemimpin daerah tersebut tidak boleh memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan atau garis keturunan dengan petahana yaitu seperti ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu (kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan). Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus aturan pelarangan keluarga petahana mencalonkan kepala daerah.
Hak Berdemokrasi
Indonesia mulai membuka sistem demokrasi, setelah berakhirnya rezim Orde Baru, dimana seluruh masyarakat Indonesia bebas untuk menyuarakan pendapatnya, bebas untuk mengkritik, hingga bebas untuk memilih dan juga dipilih. Keterbukaan itu membuat masyarakat punya kesempatan yang sama dalam hal meraih kekuasaan. Semua warga negara dari berbagai latar belakang pun dijamin haknya untuk ikut serta dalam kontestasi politik. Hal itu pun ikut didukung oleh beberapa pasal berikut ini. Seperti Pasal 5 ayat (1) UU HAM menjelaskan bahwa “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”. Lalu Pasal 15 UU HAM menjelaskan bahwa “setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Pasal 43 ayat (1) UU HAM juga menjelaskan bahwa: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Jadi pada dasarnya semua warga Indonesia memiliki hak untuk memilih dan dipilih (right to be vote and right to be candidate). Bahkan hak tersebut telah dijamin oleh konstitusi, undang-undang bahkan konvensi internasional.
Kembali Kepada Masyarakat
Perdebatan terkait langkah politik yang ditempuh Gibran apakah dapat disebut sebagai sebuah dinasti politik atau hanya sekedar hak berdemokrasi saja, sebenarnya jawaban tersebut tergantung dari sisi mana masyarakat memandangnya. Jika langsung dikaitkan dengan dinasti politik, sudah tidak dapat dipungkiri lagi karena Gibran merupakan anak orang nomor 1 di Indonesia. Selain itu, sang ayah juga pernah menjabat di posisi yang saat ini Gibran perjuangkan. Namun untuk langsung melabeli Gibran dengan sebutan dinasti politik, juga bukanlah yang dapat dibenarkan. Karena mengingat semua warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Selain itu memang sulit untuk membatasi hak setiap orang untuk berpolitik, karena konstitusi telah menjamin seluas-luasnya. Jadi semuanya dikembalikan lagi kepada masyarakat, karena pada akhirnya masyarakat lah yang menentukan.