Gorontalo, SuaraIndonesia1.com - Di tengah maraknya budaya populer global, nasionalisme sering diuji oleh munculnya bentuk-bentuk loyalitas baru yang kadang tidak lagi bersandar pada identitas kebangsaan. Salah satu contohnya yang menarik untuk dikaji secara kritis adalah fenomena ekstremisme terhadap simbol-simbol fiksi seperti bendera bajak laut One Piece, yang dalam beberapa kalangan fandom diperlakukan hampir seperti panji suci. Bagaimana hal ini bisa dibandingkan atau bahkan “dipertarungkan”
Pengibaran bendera merupakan simbolisasi yang penuh makna, apalagi ketika dilakukan dalam konteks formal seperti upacara di sekolah, instansi pemerintahan, atau kegiatan kenegaraan. Oleh karena itu, tindakan mengibarkan bendera One Piece, yang notabene merupakan simbol bajak laut dari sebuah karya fiksi, dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak pada tempatnya dan bahkan mencoreng nilai-nilai kesakralan upacara tersebut.
Pertama, penting untuk memahami bahwa bendera bukan sekadar selembar kain bergambar. Ia membawa identitas, nilai, dan kehormatan. Dalam budaya kita, khususnya di Indonesia, bendera Merah Putih adalah lambang perjuangan, kemerdekaan, dan semangat nasionalisme. Mengibarkan bendera lain — apalagi bendera yang tidak memiliki nilai historis atau relevansi nasional — dalam konteks yang sama, bisa dianggap tidak menghormati makna tersebut.
Kedua, bendera One Piece adalah simbol bajak laut, yang dalam kenyataannya sering dihubungkan dengan tindakan kriminal, perompakan, dan kekacauan. Meski dalam konteks fiksi anime hal itu dikemas sebagai simbol petualangan, keberanian, dan persahabatan, kita tetap harus bijak dalam memisahkan antara hiburan dan realitas. Menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan resmi berisiko memunculkan persepsi bahwa nilai-nilai hiburan bisa disamakan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Bendera Merah Putih bukan hanya selembar kain dua warna. Ia adalah representasi sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia—dari masa penjajahan hingga kemerdekaan. Nasionalisme terhadap bendera ini adalah bentuk kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan adalah hasil darah, air mata, dan pengorbanan nyata. Oleh karena itu, rasa hormat terhadap bendera Merah Putih bukan sekadar formalitas simbolik, tapi juga ekspresi cinta tanah air yang seharusnya rasional, sadar, dan bertanggung jawab.
Namun demikian, nasionalisme juga bisa kehilangan maknanya ketika ia berubah menjadi chauvinisme: kebanggaan berlebihan yang buta terhadap negara, hingga mengabaikan kritik konstruktif. Nasionalisme sejati seharusnya mendorong rakyat untuk terus memperbaiki bangsa, bukan hanya membela simbol secara membabi buta.
Bendera One Piece: Simbol Imajinasi dan Eskapisme
Di sisi lain, bendera bajak laut One Piece—simbol imajinasi ciptaan Eiichiro Oda—menggambarkan dunia petualangan, persahabatan, dan perjuangan melawan ketidakadilan. Tak sedikit penggemar yang menjadikan bendera ini sebagai simbol perlawanan terhadap sistem yang dirasa korup, stagnan, atau menindas. Namun, ketika kecintaan terhadap fiksi ini berubah menjadi ekstremisme fandom, yang menolak kritik dan mengabaikan realitas sosial-politik demi dunia fiksi, maka muncul pertanyaan: apakah ini bentuk pelarian atau pengkhianatan terhadap kenyataan?
Fenomena ini bisa menjadi cermin kekosongan makna dalam kehidupan nyata yang dialami sebagian generasi muda. Ketika nasionalisme dianggap usang, dan negara gagal memberi rasa memiliki, maka banyak yang mencari “rumah” baru dalam bentuk komunitas fiksi.
Nasionalisme Merah Putih bisa menjadi kosong ketika hanya dirayakan secara seremonial tiap 17 Agustus, tapi tidak mendorong warga negara untuk peduli pada ketimpangan, korupsi, atau ketidakadilan di negeri sendiri.
Sementara itu, ekstremisme terhadap simbol fiksi seperti bendera One Piece bisa menjadi bentuk eskapisme yang tidak sehat, apalagi jika digunakan untuk menolak realitas, menghindari tanggung jawab sosial, atau membentuk “kultus” yang menutup diri dari dunia nyata.
ANTARA IMAJINASI DAN REALITA
Kita tidak perlu memilih satu dan menolak yang lain. Imajinasi fiksi bisa menginspirasi, tapi tidak boleh menggantikan kenyataan. Nasionalisme bisa menjadi kekuatan progresif jika diiringi kesadaran kritis, bukan dogma kosong.
Menghargai bendera Merah Putih berarti mencintai negeri ini secara nyata—dengan segala perbaikan dan tantangannya. Mengagumi bendera One Piece sah-sah saja, selama tidak menggantikan identitas kebangsaan dengan fiksi belaka. Di era global yang penuh distraksi ini, yang kita butuhkan adalah nasionalisme yang kritis dan imajinasi yang membumi. Dengan begitu Kami Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara Daerah Gorontalo Akan menggelar Deklarasi Anti Ekstrimisme Fandom di POLDA Gorontalo dan KESBANGPOL Provinsi Gorontalo.