Skrinews.com_ Apa itu Front Mahasiswa Nasional atau yang biasa disebut FMN ? Kelahiran Organisasi ini tidak terlepas dari penindasan dan penghisapan yang dilakukan rejim fasis boneka imperialis Soeharto terhadap rakyat dan juga pemuda-mahasiswa di Indonesia. Setelah dikeluarkan kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) sebagai buntut dari protes besar-besaran mahasiswa dalam peristiwa Malari 1974 dan penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto pada tahun 1978 yang melahirkan tragedi berdarah di ITB, gerakan-pemuda-mahasiswa dipaksa tiarap selama hampir sepuluh tahun (akhir 70an-akhir 80an) dari aktifitas politik di kampus dan pentas politik nasional.
Kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) melalui SK Mendikbud No. 0457/U/1990 yang menggantikan posisi dari Dewan Mahasiswa (DEMA). Peran SMPT selama zaman orde baru justru mengkebiri kekrtitsan mahasiswa. Aktifitas-aktifitas di kampus yang bersifat politik atau mengkritisi rezim dilarang sama sekali. Meskipun dipaksa tiarap, tangan besi rejim Soeharto tetap tidak bisa membungkam semangat perlawanan rakyat dan pemuda-mahasiswa. Di awal tahun 80an, gerakan pemuda-mahasiswa tetap mengkonsolidasikan diri dengan membentuk lingkar-lingkar kelompok studi secara tertutup dan secara terbuka melalui jaringan pers mahasiswa yang ketika itu masih tersebar sebagian besar di pulau Jawa. Gerakan pemuda-mahasiswa ketika itu lebih banyak melakukan aktifitas pergerakan di basis-basis rakyat melalui advokasi kasus atau komunitas dengan mengusung isu-isu populisme seperti demokratisasi dan HAM.
Dari konsolidasi kecil-kecilan ini, gerakan pemuda-mahasiswa kembali ke ranah kampus di awal tahun di akhir tahun 80an dengan mendirikan forum-forum komunikasi mahasiswa, seperti munculnya Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung dan Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS). Kentalnya perbedaan cara pandang dalam menganalisa situasi konkret masyarakat Indonesia, monopoli kepemimpinan organisasi oleh individu atau segelintir orang ditambah dengan lembahnya upaya mensolidkan organisasi, akhirnya memaksa forum-forum komunikasi mahasiswa tersebut membubarkan diri.
Pasca bubarnya konsolidasi forum-forum komunikasi mahasiswa, konsolidasi lebih lanjut dilakukan dengan dibentuknya Forum Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dalam kurun waktu 1991-1994. Aksi-aksi politik terbuka mulai dilakukan dengan menggunakan komite-komite aksi setiap kali menggelar unjuk rasa. Isu-isu yang diangkat masih seputar HAM dan Demokrasi baik di sektor mahasiswa dan masyarakat secara umum, namun tetap mengarah pada perlawanan terhadap rejim Soeharto. Konsolidasi organisasi masih menggunakan sistem jaringan. Dalam perkembangannya, keberadaaan FAMI berhenti di tengah jalan yang disebabkan oleh persoalan-persoalan yang tidak jauh berbeda yang dialami oleh forum-forum komunikasi mahasiswa. Sementara SMID kemudian berkembang menjadi organisasi permanen.
Di antara kurun waktu 1994-1996, terjadi peningkatan perjuangan melawan otoritarian rejim Soeharto, meskipun masih terdapat perbedaan pandangan tentang cara pandang terhadap analisa masyarakat Indonesia dan bagaimana strategi dan taktik melawan rejim Soeharto, apakah sekedar menggulingkan Soeharto dari kelompok yang dianggap berpandangan fungsional dengan mengusung isu-isu populis atau sekaligus merubah sistem yang ada, yang dinilai ketika itu bahwa sistem masyarakat Indonesia ketika itu adalah kapitalis oleh kelompok yang beraliran strukturalis. Saling curiga diantara organisasi-organisasi yang ada juga begitu mengemuka terutama di kalangan pimpinan organisasi, hingga sangat berpengaruh pada upaya pengkonsolidasian gerakan-pemuda mahasiswa secara nasional.
Di tengah konsolidasi besar yang ada antara SMID dan FAMI, terdapat juga kelompok-kelompok mahasiswa di daerah-daerah yang juga berkeinginan untuk bergabung dalam konsolidasi gerakan pemuda-mahasiswa secara nasional. Namun, situasi konsolidasi gerakan pemuda-mahasiswa secara nasional yang cukup carut marut, mengakibatkan kelompok-kelompok mahasiswa di daerah ini cukup berhati-hati dalam bertindak. Di tengah situasi seperti itu, kelompok mahasiswa tingkat Kampus dari Jogja, Medan, Jakarta, Lampung dan Sulawesi menyelenggarakan workshop di Bandar Lampung tahun 1993 dan kemudian mendirikan sebuah jaringan pendidikan nasional yang bernama Komite Pendidikan Nasional (KPN) tahun 1994. KPN inilah yang dalam perjalanannya menjadi cikal bakal berdirinya Front Mahasiswa Nasional (FMN).
Upaya pembangunan KPN dilakukan dari rentang waktu 1994-1996. Ketika itu, KPN masih menggunakan sistem jaringan. Upaya konsolidasi KPN dilakukan dengan pengadaan edukasi bersama antar jaringan. Edukasi bersama yang dilakukan KPN cukup mampu menyatukan cara pandang, terutama tentang masyarakat Indonesia yang ketika itu juga disimpulkan sebagai masyarakat yang kapitalistik. Selain itu, KPN kemudian juga mampus memperluas jaringannya dengan bergabungnya Forstep (Malang), FKMM (Mataram) dan KA Unpad (Bandung). Dalam perjalannya hanya 4 kota yang cukup intens melakukan konsolidasi yaitu Jogja, Malang, Bandung dan Lampung. Sementara untuk Medan dan Sulawesi tidak terkonsolisasi karena lebih banyak terbentur persoalan finansial. Sementara Jakarta lepas dari KPN karena ada beda pandangan tentang taktik perjuangan. Kepemimpinan politik nasional dari KPN belum terbentuk. Kepemimpinan politik masih diberikan kepada masing-masing kota melalui aksi-aksi yang digalang dengan komite aksi yang di bentuk di masing-masing kota.
Tahun 1996 adalah pukulan bagi gerakan demokratis di Indonesia, termasuk bagi gerakan pemuda-mahasiswa dan KPN sendiri. Setelah meletusnya peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang berakhir dengan pengejaran, peculikan, penangkapan bahkan pembunuhan terhadap aktifis-aktifis pro demokrasi yang bukan saja dari PRD dan ounderbouwnya, tetapi hampir kepada seluruh aktifis pro demokrasi Di Indonesia, tak terkecuali bagi KPN. Ditengah represi yang begitu menguat dari rejim Soeharto, KPN tetap berupaya untuk mengkonsoliodasikan barisannya dengan mengadakan peretemuan reguler di empat kota tersebut. Dan pada peringatan Hari HAM Interansional, 10 Desember 1996, KPN kembali muncul dengan menggelar unjuk rasa melalui komite-komite aksi yang dibentuk di kota-kota yang terdapat jaringan KPN.
Pada tahun 1997, KPN menyelenggarakan pertemuan di Jombang untuk kembali memperkuat konsolidasi, menyikapi perkembangan politik nasional dan menindaklanjuti persoalan edukasi di masing-masing kota. Pasca pertemuan Jombang, edukasi mulai berjalan secara masif di berbagai kota. Selain itu, organisasi-organisasi yang tergabung dalam KPN juga berperan aktif dalam perjuangan yang dimotori pemuda-mahasiswa dalam pelengseran rejim Soeharto di berbagai daerah, 21 Mei 1998. Di tahun 1998 kembali diadakan pertemuan di Malang, yang membahas perumusan kurikulum pendidikan dan pembangungan organisasi tingkat kota. Pada pertemuan ini, tidak lagi menggunakan nama KPN dan mulai ada penggunaan istilah Forum Mahasiswa Nasional (FMN).
Tahun 1999 konsolidasi telah menggunakan nama Forum Mahasiswa Nasional dengan fokus pembangunan organisasi tingkat kota yang menghimpun organisasi tingkat kampus. Ketika itu masih bernama Kelompok Kerja Nasional FMN (Pokja FMN). Kemudian disusul dengan pembangunan organisasi tingkat kota yang terdiri dari Serikat Mahasiswa Kedaulatan Rakyat (SMKR) Yogyakarta, Front Indonesia Muda-Bandung (FIM-B), Serikat Mahasiswa untuk Demokrasi Rakyat (Samudra) Malang, Komite Aksi Mahasiswa untuk Perubahan Rakyat (KMPR) Jombang, Solidaritas Mahasiswa untuk Perjuangan Rakyat (SMPR) Surabaya, Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM), Serikat Mahasiswa Bandar Lampung (SMBL) dan Forum Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (FMKR) Palembang.
Dalam rentang waktu 1999-2000, FMN mengalami keguncangan internal yang sangat mempengaruhi konsolidasi internal di FMN. Persoalan yang dipicu dari pertentangan internal di bandung dan merambah ke Jogja bahkan ke Bandar Lampung, berakhir dengan keluarnya KA-Unpad dari FIM-B, bubarnya SMKR dan keluarnya SMBL dari keanggotaan FMN. Hal yang memicu pecahnya konsolidasi karena terjebaknya pimpinan-pimpinan organisasi dalam subjektifsme yang tinggi dan kepemimpinan organisasi yang sangat tergantung pada sosok individu atau segelintir orang, hingga ketika muncul perdebatan yang mengemuka, tidak coba diselesaikan secara prinsipil atas dasar Kritik-persatuan-kritik, tetapi dengan cara-cara liberal dengan menggeret massa dalam konflik yang tidak sepenuhnya dipahami oleh mereka.
Kabut gelap yang menyelimuti FMN diantara 1999-2000 tersebut, mendorong sebagian pimpinan organisasi yang masih konsisten akan perjuangan massa untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan organisasi dengan mengkonsolidasikan organisasi-organisasi tingkat kota dan kampus. Upaya tersebut membuahkan hasil dengan terbentuknya kembali Pokja Nasional FMN pada tahun 2000 juga. Di tahun 2001, kembali diadakan konsolidasi di Yogyakarta dengan menyusun kurikulum pendidikan nasional FMN. Kemudian penyamaan langgam kerja organisasi dengan menghidupkan kembali organisasi tingkat kota dan tingkat kampus dengan melakukan pengorganisasian massa dan perjuangan massa baik di tingkat kampus dan di tingkat kota. Dari tahun 2001 hingga 2003, dalam aksi-aksi politik mulai menggunakan nama FMN.
Sementara dalam menganalisa masyarakat masih berdasarkan kesimpulan masyarakat Indonesia adalah masyarakat kapitalis. Namun mulai muncul perdebatan tentang analisa masyarakat Indonesia apakah berkarakter kapitalis atau berkarakter setengah jajahan-setengah feodal. Platform yang diusung adalah “Deorbaisasi dan demiliterisasi serta anti imperialisme” dengan mengusung tuntutan hak-hak demokratis rakyat, pelanggaran HAM dan kebijakan-kebijakan yang anti rakyat dari rejim. Kemudian mulai melakukan trasformasi secara bertahap dari organisasi kader berbasis massa menuju organisasi massa. Namun prinsip-prinsip organisasi seperti Sentralisme Demokrasi, Kepemimpinan Kolektif, Sistem Komite dan Garis massa belum mampu diterapkan secara tepat.
Pada tanggal 18 Mei 2003, bertempat di Balai Rakyat, Utan Kayu, Jakarta, Forum Mahasiswa Nasional secara resmi berganti menjadi Front Mahasiswa Nasional melalui acara yang dikenal sebagai Kongres Pendirian Front Mahasiswa Nasional atau Founding Congress FMN. Sejak itu pula, resmi dideklarasikan FMN sebagai organisasi massa (ormass) pemuda-mahasiswa. Dalam mukadimah Kongres Pendirian juga disebutkan bahwa garis politik atau garis perjuangan FMN adalah perjuangan Demokrasi Nasional yang anti imperialisme, anti feodalisme dan anti kapitalisme birokrasi. 700 anggota FMN dari berbagai kota hadir dalam Kongres Pendirian organisasinya dan kemudian 740 orang anggota mengikuti aksi Nasional perdana FMN di Jakarta, di tempat pimpinan pusatnya berada. Pada Founding Kongres itulah, semua level organisasi dilebur dalam satu identitas Front Mahasiswa Nasional di bawah kepemimpinan yang sama, yaitu Komite Pusat FMN. Pasca Kongres semua anggota bersemangat, bergairah dan bangga terhadap organisasinya. Semangat ini dirasakan di seluruh Kota FMN.
Kongres I FMN terselenggara pada 18-23 Mei 2004 di Bandar Lampung dan Metro, Lampung. Perdebatan yang sangat mengemuka ketika Kongres I adalah tentang garis politik. Namun lagi-lagi atas dasar persatuan, secara tegas Kongres I tidak menetapkan bahwa garis politik FMN adalah Demokrasi Nasional. Upaya untuk membangun kepemimpinan kolektif juga setidaknya telah dilakukan dengan dibentuknya Dewan Pimpinan Pusat FMN sebagai pimpinan tertinggi organisasi di antara dua kongres. Secara umum Kongres I FMN telah menunjukkan beberapa kemajuan dengan adanya Garis Dasar Perjuangan (GDP), Konstitusi organisasi, Program umum dan Program Perjuangan organisasi dan pembentukan DPP FMN.
Kongres II FMN telah berhasil dilaksankan 14-19 September 2006, di Bandung. Kongres II FMN telah mampu melahirkan atau meletakkan dasar-dasar politik dan organisasi yang tertuang dalam Dokumen Kongres II FMN yang berisikan Program Perjuangan dan Konstitusi FMN. Dasar politik itu adalah ditegaskannya dalam konstitusi dan program perjuangan FMN tentang garis politik Demokrasi Nasional sebagai asas perjuangan FMN.
Kongres III FMN kemudian dilaksanakan pada 10 – 14 Maret 2009 di Mataram. Kongres ini meletakkan garis bahwa perjuangan di sektor mahasiswa tidak pernah terlapas dari perjuangan rakyat Indonesia (terutama kelas buruh dan kaum tani) untuk melepaskan diri dari dominasi imperialisme dan feodalisme serta meletakkan metode kerja pengorganisasian FMN yang lebih luwes berdasarkan kepada hasil evaluasi terhadap perkembangan dan pembangunan organisasi selama beberapa tahun ke belakang. Kongres III FMN ini menghasilkan Program Umum Perjuangan FMN dan Amandemen Konstitusi FMN serta menetapkan 25 orang kolektif pimpinan tertinggi organisasi yaitu Dewan Pimpinan Pusat FMN untuk masa bakti 2009 – 2011.
Dengan demikian dasar perjuangan FMN lahir karena situasi penindasan yang semakin akut dalam sistem Setangah Jajahan dan Setengah Feodal (SJSF) di Indonesia. Bahwa persoalan yang dihadapi oleh mahasiswa di dalam kampus dan persoalan sosial ekonominya mempunya akar persoalan yang sama dengan persoalan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia hari ini. Bahwa persoalan di sektor pemuda-mahasiswa tidak pernah terlepas dari persoalan pokok rakyat indonesia atas dominasi imperialisme dan penindasan feodalisme. Maka hanya dengan besatu padu dalam gerakan rakyat yang berwatak patriotik, demokratik dan militan dalam satu garis politik anti imperialisme, anti feodalisme dan anti kapitalis birokrat, FMN akan tetap mampu berdiri dan menjadi barisan terdepan dalam memperjuangkan hak demokratis pemuda-mahasiswa dan rakyat Indonesia./ Amr
Sumber : Antikabir89win.wordpress.com