Opini - Suaraindonesia1, Korupsi adalah isu penting yang mengancam laju perkembangan suatu bangsa, tidak terkecuali Indonesia. Perlawanan terhadap korupsi bukan tidak dilakukan tetapi selalu terbentur dengan birokrasi, penegakan hukum, dan anggapan bahwa korupsi adalah bagian dari budaya. Korupsi adalah tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah atau terjadi di dalam kalangan masyarakat. Faktor internal merupakan sebuah sifat yang berasal dari organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Tindakan rupsi ini terjadi karena beberapa faktor faktor yang diri kita sendiri. Praktik-praktik korupsi hampir terjadi disetiap daerah di Indonesia, mulai dari kasus kecil hingga yang besar.
Korupsi telah menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia, karena telah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, sehingga memunculkan stigma negatif bagi negara dan bangsa Indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional. Faktor seseorang melakukan korupsi yaitu sistem penyelenggaraan negara yang keliru, kompensasi PNS yang rendah, pejabat yang serakah, law enforcement tidak berjalan, hukuman yang ringan terhadap koruptor, tidak ada keteladanan pemimpin, pengawasan yang tidak efektif dan budaya masyarakat yang kondusif KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) Ketika pemerintah ingin memberantas korupsi setidaknya ada empat bidang kehidupan yang harus dibenahi yaitu bidang ekonomi yang akan menghindarkan masyarakat dari kemiskinan, bidang pendidikan agar masyarakat menjadi pintar dan kebodohan bisa diberantas, bidang budaya dan moral agar masyarakat terselamatkan dari rasa kemaruk dan rakus yang mempunyai kepribadian yang ideal, memiliki budaya generasi muda anti korupsi dan bidang politik yang transparan, jujur, amanah, dan pro rakyat.
Pemberantasan korupsi telah banyak dilakukan, tetapi harapan untuk menimbulkan efek jera dengan mengendalikan pelaku koruptor ternyata tidak terjadi. Berbicara tentang korupsi yang juga terdengar di berbagai kalangan masyarakat, orang tidak percaya lagi dengan penegakan hukum korupsi di Indonesia, hal ini disebabkan karena penegakkan hukum di Indonesia tidak bebas dari permainan uang dan pengaruh kekuasaan. Hukum pidana menegaskan bahwa korupsi adalah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh).
Namun, bukan berarti Indonesia tidak dapat bangkit dari keterpurukan. Pasalnya, bukan hanya Indonesia saja yang pernah mengalami eksistensi korupsi yang menjamur. Salah satu wilayah yang sempat dikenal dengan budaya korupsi adalah Hong Kong. Meskipun demikian, Hong Kong dapat dikatakan mengalami sukses besar dalam memberantas korupsi. Lembaga anti-korupsi Hong Kong yang lebih akrab disebut sebagai Independent Commission Against Corruption (ICAC), berhasil mencapai kesuksesannya dalam jangka waktu yang relatif singkat. Berdiri pada tahun 1974, ICAC mampu memperbaiki persepsi korupsi Hong Kong di mata para penduduknya. Kesuksesan ini dibuktikan pada tahun 1995, dengan tercatatnya Hong Kong pada urutan ke-17 negara terbersih dari korupsi. Lantas, bagaimana usaha ICAC dalam memberantas korupsi di Hong Kong?
ICAC(Independent Commission Against Corruption) adalah sebuah komisi khusus pemberantasan korupsi yang didirikan di Hongkong pada 15 Februari 1974. Sebelum ICAC ada, Hongkong dikenal sebagai salah satu negara yang paling korupsi sedunia. Semua lapisan masyarakat di Hongkong pada waktu itu nyaris tidak ada yang terbebas dari praktek korupsi dan suap. Semua dilakukan dengan terang-terangan. Terutama dilakukan oleh instansi kepolisiannya. Kepala Polisi dan para bawahannya bekerja tidak ada bedanya dengan cara kerja mafia yang sebenarnya. Setelah tiga tahun bekerja ICAC mencatat prestasi yang luar biasa mengubah kultur Hongkong yang penuh dengan praktek suap dan korupsi di segala lapisan masyarakat, menjadi negara paling bersih ke-13 di seluruh dunia menjadikan ICAC sebagai model bagi komisi serupa di negara lain, termasuk Indonesia dengan KPK-nya.
Pertama, ICAC independen dan langsung bertanggung jawab kepada posisi tertinggi di Hong Kong. Hal ini menurut Tony, memastikan mereka bebas intervensi saat melakukan investigasi. Dengan demikian, lembaga itu bisa menginvestigasi orang atau lembaga tanpa kecurigaan dan rasa takut. Kedua, ICAC mendapat bantuan finansial yang kuat. Mungkin hanya ICAC komisi pemberantasan korupsi yang anggarannya paling besar di dunia ini. Ketiga, mereka memiliki kewenangan yang luar biasa luas untuk melakukan investigasi. ICAC tak hanya bisa melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan di lembaga negara dan swasta. Akan tetapi, juga bisa menyelidiki semua tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi. ICAC berwenang untuk melakukan penyelidikan akun bank, bisa meminta saksi memberi keterangan di bawah sumpah, menyita harta tersangka yang berasal dari tindak pidana korupsi, sampai mencekal tersangka. Keempat, adalah profesionalitas.
Apakah KPK kita juga akan mempunyai orang-orang seberani dan segigih yang ada di ICAC? Apakah KPK akan mempunyai ketua yang sehebat Inspektur Yin dalam film atau Professor Kwok Man-wai apakah nanti KPK itu akan tetap berarti singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi, ataukah Komisi Pelindung Koruptor khususnya yang berasal dari lingkar dalam penguasa? Dari segi wewenang KPK punya wewenang lebih besar daripada ICAC. ICAC tidak mempunyai wewenang menuntut, KPK punya.
Tetapi sayangnya kekuatan dan keberanian KPK dalam kenyataannya masih kalah dari ICAC. Salah satu penyebabnya, selain dari pribadi-pribadi yang bersangkutan, juga manipulasi sistem yang diterapkan di sini, yang membuat KPK tidak bisa lepas dari pengaruh politik dan kekuasaan. Meskipun hal tersebut dibantah oleh mereka semua itu bisa saja diatasi, kalau memang semua pihak mempunyai tekad, kejujuran, dan keberanian untuk itu. Misalnya, untuk soal perbandingan tersebut di atas, anggaran untuk KPK bisa diperbesar, dan jumlah anggota penyidik juga ditambah sedemikian rupa sehingga mendekati angka perbandingan yang lebih proporsional.
Penulis: Jihan Hanifah Rosyadi, Universitas Muhammadiyah Malang