BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

“Konsep Penerapan Pembiayaan Murabahah pada Perbankan Syriah di Indonesia”

Oleh   : Nor hayati

Mahasiswa Akuntansi, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis 

Universitas Muamadiyah Malang


          

Opini - Suaraindonesia1, Pembiayaan murabahah ada di sistem transaksi jual beli, seperti yang tela kita ketahui secara umum bahwa dalam melakukan transaksi jual beli dalam syarat islam harus ada rukun dan syarat dalam transaksi tersebut. Pembiayaan murabahah berlandasan pada fatwa DSN-MUI, UU, dan PSAK. Peraturan peraturan tersebut yang mendasar pembiayaan murabahah, namun pada perbankan syariat dalam praktiknya banyak terjadi penympangan-penyimpangan, dan belum adanya keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah

Dalam prakteknya, ada beberapa tipe penerapan murabahah yaitu tipe pertama konsisten teradap fiqih muamalah tipe kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/suppler- nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabaa dengan bank, dan tipe ketiga bank melakukan perjanjian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewaklkan (akad wakala) kepada nasabah untuk membeli sendri barang yang akan dibelinya. 

Namun dari ketiga konsep yang sering digunakan oleh lembaga keuangan syariah pada pembayaran tersebut masih terjadi penyimpangan maka masih perlu ditinjau dan di evaluasi ulang karena meskipun pembayaan tersebut d anggap sah menurut hukum KUP, tetap masih belum sah secara hukum islam karena masih tidak terpenuhnya rukun jual beli yaitu atas kepemilikan objek murabahah tersebut. Maka dari itu melakukan pengembangan konsep yang ada yaitu dengan system kerjasama antara bank dan supliyer. 

           Adapun pengertan dar muurabaa adala tidak pernah secara langsung membicarakan tentang murabahah, meski di sana ada sejumlah acuan tentang jual beli, laba, rugi, dan perdagangan. Demkian pula dalam hadis, tampaknya tidak ada hadis yang memiliki rujukan langsung kepada murabahah ini, meski sedikit ada pembiasan jual beli dalam kitab ktab fiqh. Aturan yang mendasar transaksi murabahah yaitu standart nasional majelis ulama indonesia (SN MU) dan PSAK 102. 

Konsep Pembayaan Murabahah

         Para ekonom-ekonom islam dan al-al Fiqh, menganggap Murabahah sebagai bagan dalam jual beli. Maka, secara umum kaidah yang digunakan adalah jual beli. Sebagai akad jual beli maka murabahah memliki ruku dan syariat jual beli, diantaranya rukun jual beli murabahah ada tiga, yaitu orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), akad (ijab qabul), dan ma’kud ala (obyek akad). Sedangkan syariat yang harus dipenuhi pada barang yang akan diperjual belikan sesuai dengan fatwa DSN nomor 4/DSN-MU/V/2000 ada empat syarat diantaranya ;

Barang harus ada

Barang berupa harta yang jelas harganya

Barang dimiliki sendiri dan 

Barang diserakan pada waktu akad. 

Adapun mekanisme pembiayaan murabahah bank syariah adalah sebagai berikut

Nasabah mengajukan permohonan pembelian barang kepada bank.

Bank mempelajari permohonan nasabah. Apabla diterima, maka bank membeli barang/ aset sesua spesifikasi pesanan nasabah secara sah dari penjual pertama.

Bank menawarkan barang dengan spesifkasi yang dimnta dan nasaba arus membelinya sesua perjanjan yang telah dsepakat.

Bank dan nasabah melakukan transaksi jual beli murabahah melputi negosiasi harga, sistem dan jangka waktu pembayaran, ijab dan kabul, serta terima barang.

Nasabah membayar kewajbannya, kepada bank, baik secara angsur atau sekaligus dalam jangka waktu yang tela disepakat bersama. 

Konsep dan penerapan pembiayaan murabahah seperti yang telah kita ketahui secara umum bahwa dalam melakukan transaksi jual beli dalam syariat islam harus ada rukun dan syarat dalam transaksi tersebut.

Pembiayaan murabahah berlandasan pada fatwa DSN-MU, UU, dan PSAK. Peraturan peraturan tersebut yang mendasar pembiayaan murabahah, pada perbankan syaria dalam praktiknya belum ada keseragaman model penerapan pembayaan murabaa dimungkinkan beberapa faktor yang melatar belakanginya.

            Transaksi tersebut lebih dekat dengan murabahah yang asli, tapi rawan dari masalah legal dalam beberapa kasus ditemukan adanya klaim nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada bank, tetapi kepada pihak ketiga yang mengirimkan barang ,kasus tersebut banyak terjadi dikarenakan meskipun  nasabah telah mendatangani  perjanjian murabahah dengan bank perjanjian ini kurang memiliki kekuatan hukum kerena tidak ada tanda bukti bahwa  nasabah menerima uang  dari bank sebagai bukti pinjaman / hutang. untuk menghindari kejadian sperti itu maka ketika bank syariah  dan nasabah telah menyetujui untuk melakukan transaksi murabahah maka bank  akan mentrasfer pembayaran barang  ke rekening nasabah  ( numpang lewat )  kemudian didebet dengan persetujuan nasabah untuk di transfer ke rekening suplier, dengan cara seprti ini maka ada bukti bahwa dana perna di transfer ke rekening nasabah namun dengan model marabahah seperti ini tetap saja berpeluang melanggar ketentuan syariah ini dikerenakan pihak  bank sebagai  pembeli pertama tidak pernah menerima barang atas namanya tetapi lansung atas nama nasabah ,karena dalam prinsip syariah  akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip, menjadi milik bank  ada beberapa tipe penerapan murabahah dalam praktik perbankan syariah yang dibagi menjadi tiga kata gori besar,  yaitu:

Tipe Pertama penerapan murabahah dengan tipe konsisten terhadap fiqih muamalah. Tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah

Setelah ada perjanjian sebelumnya, setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.


2. Tipe kedua hampir mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.


3. Tipe ketiga, bank melakukan perjanjian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dana lalu dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima uang. Tanda terima uang ini menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana pinjaman. Tipe ini yang sering diterapkan oleh LKS. Tipe ketiga ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, sementara akad jual beli murabahah telah dilakukan sebelum barang, secara prinsip, menjadi milik bank.


           Pada konsep tipe ke 3, konsep tersebut sangat rentan terhadap penyalahgunaan dana yang diperoleh atas akad murabahah. Ini dikarenakan pihak LKS langsung memberikan dana tersebut kepada nasabah Tampa mengetahui secara jelas penggunaan dana tersebut, misal dalam akad dana tersebut akan digunakan untuk renovasi murah (membeli semen) akan tetapi nasabah menyalahgunakan dana tersebut untuk membeli furniture bukan untuk membeli semen. Hal ini sering terjadi karna kurang nya evaluasi terhadap penggunaan dana tersebut. Pihak bank juga tidak akan ambil pusing untuk hal seperti ini, pihak bank biasanya hanya mementingkan kewajiban akan angsuran nasabah tersebut terpenuhi.

Dalam memberikan layanan murabahah untuk tipe 2 dan 3 tersebut perlu ditinjau dan dievaluasi ulang karena walaupun murabahah dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan dianggap sah menurut hukum, tetapi jika secara hukum islam masih d  katakan tidak sah karna masih tidak terpenuhinya salah satu rukun jual beli yaitu kepemilikan atas obyek murabahah. 

        Permasalahan lain yang sering terjadi biasanya tentang penundaan pembayaran murabahah seperti yang dijelaskan pada fatwa DSN-MUI mengenai hal jika masabah telah dinyatakan pailit dan gagal penyelesaian utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi saanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan ,berdasarkan  wawancara dengan informan ( praktisis ) bak syariah mandiri , pertanyaan watfa ini tidak sejalan dengan kenyataan kenyataan yang ada dilapangan bahwa penundaan ini tetap menjadi kewajiban yang dibayar oleh nasabah dan juga dikenakan denda atas penundaan tersebut.

       Permasalah lain tentang potongan tagihan dalam murabah, seperti yang dijelaskan pada fatwa DSN-MUI mengenai hal potongan tagihan dalam murabah terutama pada nassabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran, berdasarkan hasil wawancara dengan informan ( praktisis ) bank syariah mandiri potongan pembayaran tagihan tersebut hampir tidak pernah ada kenyataannya.

          Evaluasi terkait konsep pembiayaan murabahah sebagi sala satu bentuk jual beli amanah terkait dengan segala aturan syariah yang berlaku pada jual dan aturan khusus yang berlaku pada murabahah sebagai jual beli amanah,  dalam praktik murabahah bank syariah  baik mengacu kepada ketetapan DSN-MUI maupun praktiknya disektor  perbankan ,rukun jual beli berupa keberadaan dua pihak yang bertransaksi, objek jual beli, harga, dan akat telah terpenuhi dan sesuai dengan tuntunan syariah. akan tetapi, terdapat beberapa hal terkait murabahah yang perlu di evaluasi kembali dalam pelaksanaannya seperti objek murabahah.


« PREV
NEXT »