SUARAINDONESIA1.COM --' Reboisasi Hutan Mata Likku di Desa Karuni, Kecamatan Loura, Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi sorotan karena konflik nama dan pengelolaan. Sebelum kegiatan reboisasi, masyarakat dan tokoh adat Desa Karuni melakukan dealok (protes) terhadap petugas UPT-KRPH SBD karena nama Hutan Rakyat berubah menjadi Hutan Rookaraka Mata Lombu.
Masyarakat Desa Karuni mengungkapkan bahwa Hutan Mata Likku telah dikenal sebagai Hutan Rakyat sejak masa Swaraja dan berdasarkan kesepakatan tokoh adat. Nama Hutan Rakyat diberikan karena masyarakat dapat mengambil bahan lokal seperti kayu dan bambu dengan menggunakan dokar atau kerbau.
Meskipun terjadi dealok, kegiatan reboisasi tetap terlaksana. Awalnya, kelompok masyarakat Desa Karuni yang akan melakukan penanaman pohon, namun karena dealok tersebut, kelompok masyarakat dari desa lain yang melakukan penanaman.
Berdasarkan data lapangan, hutan Mata Likku seluas 100 ha dan ditanami tanaman Trambesi. Namun, diduga hanya 30 ha yang ditanami. Kepala UPT-KRPH SBD, Marten Bulu, menyatakan bahwa luas lahan hutan Mata Likku adalah 100 ha dan sudah selesai dikerjakan.
Kepala UPT-KRPH SBD tidak dapat menyebutkan nominal anggaran dan mengarahkan media untuk menemui pihak pengelola proyek. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi pengelolaan anggaran.
Konflik nama dan pengelolaan Hutan Mata Likku menunjukkan pentingnya komunikasi dan kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian, diharapkan dapat ditemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
****** EMAN LEDU ******
( SUARAINDONESIA1.COM )