BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

Di Balik Angka 30%: Mengapa Perempuan Masih Tertinggal?



Gorontalo, SuaraIndonesia1.com – Angka partisipasi perempuan dalam dunia politik Indonesia masih stagnan di angka 30%. Di balik angka tersebut, terdapat realitas yang menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan belum sepenuhnya merata. Hal ini disampaikan oleh Sucitra Dwicahyani dalam sebuah wawancara terkait peran perempuan dalam ranah politik nasional.



"Saat kecil, kita diajari bahwa perempuan bisa jadi apa saja. Dokter, guru, perawat, chef bahkan presiden. Tapi ketika dewasa dan masuk dunia kerja, realitanya berbeda: hanya 30% perempuan yang terlibat aktif terutama dalam ranah politik. Nah, ke mana hilangnya semangat itu?" ujar Sucitra.



Ia mempertanyakan, apakah semangat perempuan yang hilang, ataukah ruang 30% itu memang tidak cukup? Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2013 pasal 27 ayat (1) huruf b, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, setiap partai politik diwajibkan mengisi kuota 30% calon legislatif perempuan.



“Sebenarnya kita harus tahu dulu tujuan dibentuknya UU No. 12 Tahun 2003 ini apa. Target ini dibuat sebagai bentuk kebijakan afirmasi untuk mendorong partisipasi perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan,” jelas Sucitra. 



Menurutnya, kebijakan afirmatif ini bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender dan memastikan bahwa suara perempuan juga terwakili dalam proses pembuatan kebijakan.



“Para perempuan kan sering menyuarakan tentang kesetaraan gender. Nah, makanya 30% ini adalah target yang sebisa mungkin dicapai oleh perempuan-perempuan di Indonesia, terutama dalam dunia politik, khususnya pemilu,” tambahnya.

Namun, kenyataannya angka 30% tersebut belum sepenuhnya terisi oleh perempuan. Menurut Sucitra, permasalahan utamanya bukan sekadar “tidak ada perempuan,” melainkan sistem yang masih memandang perempuan sebagai pelengkap.



“Kuota 30% kadang hanya dijadikan formalitas. Akhirnya, muncul nama-nama perempuan tanpa latar belakang yang kuat di dunia politik, sekadar memenuhi syarat administratif. Ini justru merugikan citra perempuan itu sendiri,” ujarnya.



Sebagai solusi, Sucitra menyampaikan empat poin penting. 


Pertama, pendidikan dan pelatihan kepemimpinan bagi perempuan harus diperkuat sejak dini. “Perempuan perlu diberi ruang belajar, akses informasi, dan dukungan untuk terjun ke dunia politik dan pengambilan keputusan—bukan hanya disiapkan untuk hadir, tapi juga memimpin,” tegasnya.



Kedua, partai politik harus serius melakukan kaderisasi berbasis meritokrasi. “Jangan jadikan perempuan sekadar 'penggugur syarat', tapi berikan mereka panggung dan pendampingan untuk berkembang sebagai pemimpin yang punya kapasitas,” ujarnya.



Ketiga, mengubah pola pikir masyarakat. “Perempuan yang vokal dan tegas sering kali dilabeli negatif. Ini harus diubah. Kita butuh budaya yang mendukung perempuan berpendapat, memimpin, dan mengambil keputusan tanpa stigma,” katanya.



Dan yang terakhir, ia menekankan pentingnya dukungan dari lingkungan sekitar. “Kita sebagai masyarakat harus mulai dari hal kecil: mendukung perempuan di sekitar kita—entah itu teman, keluarga, atau rekan kerja—untuk terus melangkah maju. Karena perjuangan perempuan bukan soal angka 30%, tapi tentang membangun sistem yang benar-benar setara,” pungkas Sucitra Dwicahyani.




Reporter : Julianhar Ohi

« PREV
NEXT »