Gorontalo Utara - SuaraIndonesia1.com, Lonjakan Kasus yang Mengkhawatirkan.
Kasus pelecehan seksual di Kabupaten Gorontalo Utara mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data terbaru dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Gorontalo Utara per Juli 2025, tercatat adanya kenaikan sebesar 40 persen kasus dibandingkan periode Januari–Juli 2024.
Dari total 28 laporan yang diterima selama tahun berjalan, hanya 7 kasus yang berhasil ditindaklanjuti hingga ke tahap proses hukum. Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Gorontalo mencatat bahwa 65 persen korban berasal dari kelompok usia remaja perempuan, yakni usia 15–24 tahun.
Ironisnya, sebagian besar pelaku justru berasal dari lingkungan terdekat korban—termasuk anggota keluarga, guru, bahkan tokoh masyarakat setempat.
Maimun Puana, aktivis perempuan dari Cabang Gorontalo yang juga merupakan peserta Latihan Khusus Kohati (LKK) di Cabang Palu, menilai situasi ini sebagai bentuk kegagalan sistemik.
“Tingginya angka pelecehan seksual di Gorontalo Utara adalah bukti kegagalan sistem perlindungan. Korban sering tidak mendapat keadilan karena tekanan sosial, kurangnya bukti, atau intervensi dari pihak-pihak yang ingin menyelesaikan kasus secara diam-diam,” tegas Maimun Puana.
Faktor Penyebab: Dari Budaya hingga Lemahnya Penegakan Hukum
1. Normalisasi Pelecehan dalam Budaya Patriarki. Survei Koalisi Perempuan Gorontalo pada Mei 2025 mengungkapkan bahwa 68 persen masyarakat masih menganggap tindakan pelecehan verbal atau sentuhan tidak senonoh sebagai “hal biasa”. Hanya 1 dari 5 kasus pelecehan seksual yang dilaporkan ke pihak berwenang. Sisanya, diselesaikan secara kekeluargaan atau bahkan ditutup-tutupi demi menjaga nama baik.
2. Lambannya Penanganan Hukum. Dari 7 kasus yang berhasil diproses secara hukum sepanjang 2024–2025, 4 di antaranya terhenti di tengah jalan karena kurangnya alat bukti atau adanya tekanan dari pihak tertentu.
Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah dugaan pelecehan oleh seorang guru honorer terhadap siswinya. Hingga Juli 2025, proses peradilan terhadap pelaku masih tertunda tanpa kejelasan.
3. Minimnya Edukasi dan Layanan Korban
Data Dinas Pendidikan tahun 2025 menyebutkan, hanya 25 persen sekolah di Gorontalo Utara yang telah mengimplementasikan program edukasi kesehatan reproduksi. Lebih jauh lagi, Kabupaten ini belum memiliki rumah aman (shelter) bagi korban kekerasan seksual. Akibatnya, korban kerap dipaksa kembali ke lingkungan yang tidak aman dan tidak mendukung.
Yang Harus Dilakukan:
1. Percepatan Proses Hukum dengan Pengawasan Ketat
Polres Gorontalo Utara perlu segera membentuk satuan tugas khusus untuk menangani kasus pelecehan seksual dan memastikan tidak ada penundaan dalam proses hukum. Kejaksaan juga diharapkan lebih terbuka dan transparan dalam menyampaikan perkembangan perkara kepada publik.
2. Edukasi Kesetaraan Gender dan Kesehatan Reproduksi
Materi mengenai consent, bahaya pelecehan seksual, dan hak-hak korban harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah serta kegiatan
keagamaan masyarakat. Aparat desa, guru, dan tokoh agama wajib mengikuti pelatihan khusus dalam menangani laporan dan pendampingan korban.
3. Pendirian Layanan Terpadu untuk Korban
Pemerintah daerah didesak segera membangun rumah aman, menyediakan layanan psikologis gratis, serta mengaktifkan hotline pengaduan 24 jam yang mudah diakses oleh siapa pun yang menjadi korban.
Kesimpulan: Jangan Biarkan Korban Berjuang Sendiri.
Kasus pelecehan seksual di Gorontalo Utara bukan sekedar angka statistik. Ia mencerminkan penderitaan nyata para korban yang seringkali tidak mendapatkan pembelaan.
Jika pemerintah dan masyarakat tidak segera mengambil tindakan serius, budaya impunitas terhadap pelaku akan semakin mengakar.
Maimun Puana kembali menegaskan.“Korban butuh keberanian untuk bersuara, tetapi yang lebih penting, mereka butuh sistem yang mendukung, bukan mengkhianati.
Catatan: Maimun Puana
Tanggal: 15 Juli 2025
Pendidikan: Kampus Universitas Ichsan Gorontalo Utara
Organisasi: HMI