Gorontalo, SuaraIndonesia1.com - “Ketika kaderisasi dipandu oleh kekuasaan, bukan oleh nilai; maka kader hanya menjadi alat, bukan agen perubahan.” — Fikri Adam
Ketika Kaderisasi Menjadi Mesin Kekuasaan
Perjalanan panjang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai laboratorium intelektual dan ruang pembentukan insan cita kini menghadapi tantangan serius. Tantangan itu bukan lagi semata berasal dari eksternal—seperti apatisme generasi muda, tantangan digitalisasi, atau komersialisasi pendidikan—tetapi dari internal tubuh Himpunan itu sendiri: sistem perkaderan yang tersandera oleh logika kekuasaan struktural.
Di era digital hari ini, ketika dunia bergerak cepat dan narasi berubah dalam hitungan detik, perkaderan HMI justru stagnan dalam pola-pola lama yang kaku, sentralistik, dan eksklusif. Di banyak komisariat dan cabang, Latihan Kader 1 (LK 1) masih menjadi alat konsolidasi kekuasaan, bukan ruang transformasi pemikiran.
Sistematisasi Otoriter dan Reduksi Peran Instruktur
Kaderisasi yang seharusnya cair, dinamis, dan terbuka kini dikunci dalam sistematisasi yang sempit dan birokratis. Proses kaderisasi di banyak tempat dipaksakan mengikuti pakem administratif belaka, tanpa ruang dialektika dan kreativitas. Bahkan para instruktur, yang seharusnya menjadi jantung intelektual perkaderan, hanya diposisikan sebagai pelaksana teknis, bukan sebagai subjek ideologis.
“Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang diberi kebebasan untuk berpikir, memilih, dan bertindak..”
(NDP HMI, Bab II: Pandangan Dasar tentang Manusia)
Tetapi dalam praksis kekinian, nilai kebebasan berpikir ini tidak diberikan kepada para kader muda. Mereka dibentuk untuk taat, bukan berpikir. Loyal terhadap struktur, bukan terhadap nilai. Situasi ini melahirkan kader-kader diam, bukan yang bersuara; yang manut, bukan yang menggugat.
Politik Praktis dalam Balutan Perkaderan
Di tengah transformasi zaman yang menuntut gerakan mahasiswa untuk lebih progresif, kaderisasi HMI hari ini justru banyak disusupi oleh intrik politik praktis. Baik di internal cabang maupun di level nasional, LK 1 hingga Intermediate Training (LK 2) tak jarang dijadikan alat rekrutmen loyalis, bukan pencetak pemikir kritis.
“Gerakan mahasiswa tidak boleh berhenti pada kepentingan politik praktis yang sempit, tetapi harus berakar pada kesadaran ideologis dan tanggung jawab sosial.”
(NDP HMI, Bab IV: Tanggung Jawab Sosial Mahasiswa Muslim)
Dalam realitasnya, banyak kader muda direkrut bukan karena kapasitas intelektual dan semangat perubahannya, tetapi karena kedekatannya dengan elite struktural. Proses kaderisasi pun menjadi ajang kompetisi membangun barisan untuk Musyawarah Komisariat atau Musyawarah Cabang, bukan membangun kesadaran ideologis.
“Jika kaderisasi terus dijalankan dengan orientasi kekuasaan, maka yang lahir bukan insan cita, tetapi insan struktural.” — Fikri Adam
Distorsi Ideologis di Era Digital
Di tengah derasnya arus informasi dan kecanggihan teknologi, HMI justru belum berhasil menyesuaikan sistem kaderisasinya. Materi yang diberikan masih konservatif, kurang kontekstual, dan jarang menjawab problem-problem realitas mahasiswa hari ini: digitalisasi, krisis iklim, kemiskinan struktural, hingga populisme agama.
Sementara itu, ruang diskusi ideologis semakin dipersempit. Kader yang kritis seringkali dicurigai, bahkan dikucilkan, seolah menjadi ancaman bagi stabilitas struktur. Akibatnya, budaya berpikir—yang dahulu menjadi ciri khas HMI—tergerus oleh budaya tunduk.
“Himpunan Mahasiswa Islam adalah organisasi kader yang independen, bersifat keislaman dan keilmuan...”
(Konstitusi HMI, Pasal 4)
Namun, independensi hari ini seolah hanya menjadi jargon formal. Dalam praksis, kader banyak diarahkan pada kepentingan pragmatis—baik oleh senior, pengurus cabang, bahkan oleh pihak eksternal seperti partai politik dan birokrasi kampus.
Krisis Kaderisasi Akar Rumput: Terabaikan dan Terpinggirkan
Akar rumput HMI hari ini berada dalam situasi terpinggirkan. Kader-kader di tingkat komisariat yang seharusnya mendapat penguatan justru kerap ditinggalkan pasca-LK 1. Tidak ada pendampingan, tidak ada pemetaan minat dan bakat, tidak ada manajemen kader yang sistematis.
Lebih parah, kaderisasi lanjutan pun menjadi eksklusif dan sulit dijangkau oleh mereka yang tidak “berjaringan” dengan elite struktural. Ini memperdalam jurang antara kader pemula dan pengurus puncak, serta menjauhkan cita-cita organisasi untuk membentuk kader pelanjut estafet kepemimpinan umat dan bangsa.
Jalan Pulang ke Nilai, Bukan Struktur
Sudah saatnya HMI melakukan koreksi mendalam terhadap sistem kaderisasi yang berjalan. Reformasi perkaderan tidak bisa ditunda lagi. Bukan reformasi struktural belaka, tapi juga reformasi nilai dan paradigma.
Instruktur harus dikembalikan sebagai penjaga ideologis, bukan pelayan struktural. Kader muda harus diajak berpikir, bukan sekadar diarahkan. Ruang diskusi harus dibuka seluas-luasnya, bukan dipagari oleh ketakutan akan perbedaan. Dan yang terpenting, politik praktis harus dienyahkan dari jantung kaderisasi.
“Lebih baik HMI kehilangan struktur, daripada kehilangan ruh ideologis dan nilai perjuangannya.” — Fikri Adam
Kini, kita harus kembali bertanya: apakah kita sedang membentuk insan cita, atau hanya membangun barisan struktural?
Penulis : Fikri Adam
- J.OHI -