Bitung — Suaraindonesia1, Aroma busuk dugaan permainan hukum bermunculan dari ruang sidang Pengadilan Negeri Bitung. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut ASM yang terbukti hanya tertidur saat peristiwa dugaan asusila, dengan hukuman delapan tahun penjara. Lebih parah lagi, pelaku utama yang menjemput korban, menyediakan tempat, merekam, hingga menyebarkan video justru bebas melenggang tanpa proses hukum. Minggu, (10/08/2025)
Kuasa hukum ASM, Advokat Timothy Haniko, SH, menilai tuntutan tersebut mengabaikan fakta-fakta persidangan bahkan adalah tamparan keras yang tak masuk logika dan Membunuh prinsip dasar keadilan.
“Fakta persidangan jelas-jelas menunjukkan klien kami tidak ikut merencanakan, tidak mengenal korban, tidak melakukan perbuatan fisik apapun. Dia tertidur akibat alkohol. Mens rea dan actus reus tidak ada. Tapi anehnya, dia justru dituntut lebih berat dari pelaku langsung. Ini pelecehan terhadap asas equality before the law,” tegas Timothy.
Fakta di pengadilan terang-benderang: FA (pemilik kamar). Dalang utama: jemput korban, sediakan lokasi, rekam video, sebar konten.
NR & RM — Pelaku langsung yang berhubungan badan dengan korban.
ASM — Tertidur saat kejadian, terbangun di detik akhir, kaget dan tertatawa lalu meninggalkan kamar tempat ia tertidur.
Ironinya, NR dan RM hanya dituntut tujuh tahun, ASM delapan tahun, sedangkan FA malah menghilang dan bebas bekerja di Gorontalo.
“Jaksa berdalih ASM melakukan pembiaran (omission), padahal tidak punya kewajiban hukum, tidak punya kapasitas menghentikan peristiwa karena tertidur, dan bahkan mengira korban adalah perempuan dewasa panggilan. Prinsip actus non facit reum nisi mens sit rea jelas dilanggar,” ujar Timothy.
Bukti Diduga Palsu, Restorative Justice Dibuang ke Tempat Sampah! Di persidangan, ASM, NR, dan RM kompak menyatakan tanda tangan di BAP bukan milik mereka. Mereka mendemonstrasikan tanda tangan asli di depan hakim. Ada dugaan kekerasan dalam penyidikan, tapi dibantah penyidik.
Lebih parah, sebelum perkara naik ke pengadilan, keluarga korban dan ASM sudah berdamai secara resmi dan korban menyatakan tidak ingin menuntut. Sesuai Perkapolri No. 8 Tahun 2021 dan Perja No. 15 Tahun 2020, perkara ini seharusnya dihentikan demi keadilan restoratif. Namun, penyidik dan jaksa menutup mata.
Ketua PWOIN Sulut, Reza Lumanu, menghantam keras tindakan JPU yang dianggap memelintir hukum demi kepentingan yang tidak jelas. Ia meminta agar kejaksaan agung lakukan pencopotan terhadap JPU yang bermain hukum dan menumbalkan orang yang tidak bersalah.
“Ini permainan hukum kotor. Bagaimana mungkin orang yang tertidur dihukum lebih berat dari pelaku utama? Kejaksaan Agung tidak boleh diam. Copot JPU yang berani-beraninya membalik fakta seenaknya. Kalau dibiarkan, rakyat kecil akan terus jadi tumbal,” tegas Reza.
Kuasa hukum ASM menegaskan, putusan majelis hakim nanti akan menjadi ujian integritas pengadilan. Pengadilan Diuji: Tajam ke Bawah atau Tegak Lurus berpihak pada kebenaran ?
“Ini bukan sekadar nasib ASM. Ini ujian apakah hukum kita berdiri tegak untuk semua, atau tetap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Fiat justitia ruat caelum, tegakkan keadilan walau langit runtuh,” tutup Timothy.