Gorontalo, Suaraindonesia1.com – Budaya bungkam diduga kuat melanda Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Keterbatasan pendanaan dan fasilitas bagi Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dinilai telah membelenggu kreativitas dan semangat intelektual kampus.
Keresahan ini disampaikan secara tegas oleh Aditya, Ketua MAPALA Cagar FMIPA UNG, dalam pertemuan dengan pihak fakultas. “Dalam pertemuan saya selaku Ketua Mapala Cagar FMIPA dengan Ibu Bendahara Fakultas MIPA UNG tepatnya di ruangan Bendahara, menimbulkan pertanyaan besar ketika dalam pertemuan tersebut, Bendahara Fakultas MIPA menyampaikan bahwa dalam satu tahun, ormawa hanya bisa memasukkan proposal bantuan dana sebanyak satu kali,” ujar Aditya.
Kebijakan tersebut, menurutnya, menjadi keresahan dan tanda tanya besar bagi semua ormawa yang ada di fakultas MIPA. “Di tengah kampus yang katanya menjunjung tinggi semangat intelektual, justru kami Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dipaksa bungkam. Kami ingin berteriak, bukan karena manja. Kami mendesak, bukan karena lemah. Tapi karena hak kami, yang jelas-jelas dijamin oleh aturan, dipersulit oleh birokrasi yang lamban, kaku, dan nyaris tak peduli,” tegas Aditya.
Selain frekuensi pengajuan yang terbatas, nilai pendanaan yang diberikan juga dinilai sangat minim. “Kedua, yaitu mengenai keterbatasan frekuensi pengajuan proposal, pendanaan ormawa juga terlalu minim. Bahkan, ada beberapa kegiatan ormawa yang tidak didanai sama sekali,” jelasnya.
Padahal, setiap program kerja yang dirancang membutuhkan dukungan dana yang memadai. “Wajar, karena kegiatan mahasiswa adalah bagian dari pembangunan iklim akademik kampus. Tapi realitasnya, pencairan dana menjadi perjuangan yang melelahkan. Proposal harus berputar dari meja ke meja, tanpa jaminan kejelasan, ada kejelasan cairnya tidak sesuai harapan. Di satu titik, kami bahkan harus berhutang demi memastikan acara tetap terlaksana. Yang ironis: dana yang kami perjuangkan adalah milik kami sendiri,” ujar Aditya.
Ia menambahkan, “Kampus sering bicara soal prestasi, inovasi, dan kreativitas. Tapi di saat yang sama, mereka menyulitkan pihak yang paling aktif menjaga semangat itu. Jangan heran jika banyak Ormawa kehilangan gairah, atau lebih memilih diam daripada terus-menerus dipersulit. Dalam sistem yang menindas, yang tumbuh bukan potensi, melainkan frustrasi.”
Persoalan lain yang turut disoroti adalah terkait fasilitas sekretariat. “Ketiga: terkait dengan Fasilitas Sekretariat Mahasiswa yang kuncinya dipegang oleh salah satu pegawai fakultas. Padahal, sekret ormawa seharusnya menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa untuk mengembangkan ide dan gagasan. Dengan demikian, peran sekret ormawa tidak efektif dalam mendukung kegiatan mahasiswa.”
Di akhir pernyataannya, Aditya menegaskan bahwa perjuangan ini adalah soal pemenuhan hak. “Kami tidak meminta lebih. Kami hanya meminta hak kami dipenuhi. Sekretariat dan proposal bantuan dana sesuai prosedur. Kegiatan kami berdampak nyata. Jadi, jangan perlakukan kami seolah kami meminta-minta. Kami bukan pengemis. Kami adalah mahasiswa yang sedang berjuang menjalankan mandat organisasi,” tegas Aditya.
“Dan hari ini, kami bersuara. Bukan untuk mengiba. Tapi untuk menuntut.”
Reporter: Jhul Ohi