BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

Negara, Simbol, dan Ruang Ekspresi: Dialektika antara Imajinasi Rakyat dan Sensitivitas Kekuasaan


(Oleh: Taufiq Akbar, Ketua Senat Mahasiswa STAIN Sultan Abdurrahman)


Kepulauan Riau, SuaraIndonesia1.com - Sebagai bagian dari generasi yang tumbuh dalam pusaran arus budaya global, saya memandang simbol tengkorak bertopi jerami—yang dikenal luas sebagai ikon dalam serial One Piece—bukan semata-mata sebagai produk hiburan, melainkan sebagai ekspresi budaya pop yang sarat makna. Dalam kajian budaya kontemporer, simbol semacam ini dapat dikategorikan sebagai representasi identitas kolektif generasi muda yang mencari ruang untuk menyuarakan eksistensinya secara damai dan kreatif.  


Namun demikian, respons sejumlah pejabat publik terhadap pengibaran bendera tersebut justru menunjukkan gejala resistensi negara terhadap bentuk-bentuk ekspresi yang tidak konvensional. Simbol budaya yang seyogianya bersifat inklusif dan multivokal malah direduksi menjadi ancaman terhadap keutuhan nasional. Fenomena ini memperlihatkan betapa sensitifnya negara dalam membedakan antara kritik simbolik dan gerakan disintegratif. Ini merupakan pertanda adanya disonansi antara ruang ekspresi warga negara dengan sensitivitas politik negara—sebuah ketegangan yang terus menjadi perdebatan dalam demokrasi deliberatif.  


Pernyataan seorang anggota DPR RI yang menyebut bahwa pengibaran bendera One Piece adalah bagian dari kritik sosial yang sah dalam demokrasi, sekaligus menyiratkan adanya kekhawatiran terhadap gerakan sistematis untuk memecah belah persatuan bangsa, mencerminkan paradoks dalam wacana politik kita. Di satu sisi, simbol itu diterima sebagai alat ekspresi dalam ruang demokratis, tetapi di sisi lain, dicurigai sebagai ancaman laten terhadap kohesi sosial. Ketegangan semacam ini menunjukkan bagaimana simbol budaya dapat dengan cepat dikriminalisasi, bahkan tanpa keterlibatan kekerasan, ujaran kebencian, atau bentuk penistaan terhadap lambang negara.  


Menurut hemat saya, negara yang cenderung menunjukkan cultural defensiveness—yakni sikap defensif terhadap ekspresi simbolik masyarakat—justru sedang memperlihatkan ketakutannya terhadap bentuk kritik yang bersifat imajinatif. Respons yang berlebihan terhadap simbol non-politik ini dapat ditafsirkan sebagai gejala ketidaksiapan negara dalam mengelola keragaman ekspresi warga di era digital dan keterbukaan informasi.  


Alih-alih bersikap represif terhadap fenomena kultural yang tidak merugikan secara struktural, negara seharusnya mengarahkan fokusnya pada persoalan-persoalan substansial dan struktural seperti ketimpangan ekonomi, rendahnya kesejahteraan sosial, serta ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan nasional. Dalam konteks ini, governance responsiveness—yakni kemampuan negara merespons isu prioritas publik secara tepat—menjadi lebih mendesak dibandingkan mencurigai simbol budaya sebagai alat subversif.  


Apabila negara terus bersikap alergi terhadap simbol budaya, maka secara tidak langsung negara memperlihatkan ketakutannya terhadap daya imajinasi rakyatnya sendiri. Padahal, demokrasi yang sehat seharusnya mampu menampung, mengelola, dan mendialogkan simbol-simbol tersebut, bukan malah menegasikan atau mengkriminalkannya.  


Jurnalis : Jhul Ohi

« PREV
NEXT »