GORONTALO, suaraindonesia1.com – Polemik yang menyeret salah satu Anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Wahyu Moridu, kembali menegaskan pentingnya pengawasan publik terhadap lembaga legislatif sebagai representasi rakyat. Video viral yang memperlihatkan tindakan kontroversial Wahyu Moridu dianggap mencederai kepercayaan masyarakat, sekaligus membuka ruang evaluasi yang lebih luas terhadap integritas DPRD Provinsi Gorontalo.
Verdiansyah Sebagai Kordinator Isu Politik Dan Demokrasi Menyampaikan "Kami dari Aliansi BEM untuk Rakyat Gorontalo menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya persoalan individu, melainkan sinyal bahaya bagi kualitas lembaga legislatif. “Pemecatan Wahyu Moridu adalah ultimatum rakyat. Rakyat marah bukan semata pada figur Wahyu, melainkan pada mandat yang telah dikhianati. Anggota DPRD seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi, apalagi menggunakan uang negara,” tegas Verdiansyah.
Salah satu sorotan utama mahasiswa tertuju pada Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Gorontalo. Respons BK dianggap setengah hati karena tidak secara tegas mendorong rekomendasi pemecatan. Padahal, menurut BEM, kasus semacam ini merupakan ujian nyata terhadap integritas dan keberanian lembaga etik internal DPRD.
“Keputusan BK adalah representasi rakyat. Rakyat menanti, rakyat mendengar. Namun, yang terlihat justru keraguan dan pertimbangan politik yang berlebihan. Padahal, secara etika jelas-jelas terjadi pelanggaran,” ungkap Verdiansyah Kordinator Isu Bem Provinsi Gorontalo
BEM Provinsi Gorontalo tidak hanya berhenti pada desakan pemecatan. Mereka juga mendorong dilakukannya audit menyeluruh terhadap seluruh Perjalanan Dinas (PERDIS) anggota DPRD Provinsi Gorontalo. Menurut mereka, audit ini penting untuk memastikan bahwa setiap penggunaan anggaran benar-benar diperuntukkan bagi kepentingan rakyat, bukan sekadar formalitas administratif atau bahkan disalahgunakan.
“Anggaran negara adalah amanah. Audit PERDIS adalah langkah preventif sekaligus korektif agar tidak terjadi praktik penyimpangan yang merugikan rakyat. DPRD harus transparan dan akuntabel, karena mereka bekerja dengan uang rakyat,” jelas Verdiansyah
Secara teori politik dan tata kelola pemerintahan, skandal semacam ini dapat dipahami melalui perspektif teori principal-agent. Dalam hal ini, rakyat (principal) memberikan mandat kepada DPRD (agent) untuk mengelola kepentingan bersama. Namun, ketika agent justru menyalahgunakan kewenangan, terjadilah agency problem berupa moral hazard. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan baik dari partai, BK DPRD, maupun masyarakat sipil menjadi instrumen penting untuk mencegah terjadinya deviasi.
Selain itu, good governance menekankan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Audit PERDIS yang didorong mahasiswa adalah bentuk konkret penerapan prinsip tersebut dalam konteks lokal Gorontalo.
Kasus Wahyu Moridu menjadi refleksi penting bahwa DPRD sebagai lembaga aspirasi rakyat tidak boleh terjebak dalam praktik yang mengikis legitimasi. Desakan mahasiswa agar BK DPRD tegas, serta rekomendasi audit terhadap PERDIS, sejatinya bukan sekadar kritik, melainkan tawaran solusi demi terciptanya tata kelola pemerintahan daerah yang lebih bersih dan berintegritas.
“Integritas DPRD adalah integritas rakyat. Jika DPRD rapuh, maka rapuh pula kepercayaan rakyat terhadap demokrasi lokal,” tutup Verdiansyah. (Rep/Jhul)