GORONTALO, suaraindonesia1.com – Kunjungan para aktivis untuk meminta klarifikasi kepada Ketua Pansus Pertambangan yang mestinya menjadi momentum pembuka keterbukaan publik justru berubah menjadi potret suram wajah pengawasan di Provinsi Gorontalo. Alih-alih menunjukkan sikap negarawan yang siap diawasi dan dikritisi, Ketua Pansus justru menghadirkan aura arogan, dingin, dan terkesan menutup diri—seakan kursi yang ia duduki bukan titipan rakyat, melainkan singgasana pribadi yang kebal disentuh pertanyaan.
Bagaimana tidak, polemik rekaman suara yang belakangan menghebohkan publik itu memuat percakapan seorang oknum aleg Provinsi Gorontalo yang diduga menyebut adanya “bekingan kuat” terhadap salah satu perusahaan tambang emas bermasalah di Pohuwato. Dalam rekaman yang beredar itu, oknum tersebut bahkan diduga mengaitkan nama sejumlah instansi, termasuk menyinggung bahwa Kapolda Gorontalo, Gubernur, hingga beberapa pihak lain disebut berada “di pihak perusahaan”. Lebih jauh lagi, rekaman tersebut menyiratkan pesan agar urusan pertambangan tidak terlalu dicampuri, dan jika ada masalah cukup diarahkan ke Pansus Pertambangan—seolah Pansus adalah benteng pamungkas untuk meredam kritik publik.
Tidak heran jika kemudian aktivis Gorontalo, Destian Pemuda—akrab disapa Jio—melontarkan kekecewaan keras. Ia selama ini dikenal vokal mengawal isu pertambangan ilegal dan pelanggaran perizinan yang merugikan masyarakat. Ketika ia bersama massa aksi mendatangi Ketua Pansus untuk meminta klarifikasi terkait rekaman tersebut serta mempertanyakan sejauh mana kinerja Pansus dalam melahirkan rekomendasi, yang ia dapat bukan jawaban, melainkan sikap defensif dan respons yang bernada meremehkan.
Alih-alih menjelaskan progres Pansus, Ketua Pansus justru mempertanyakan apakah massa aksi “ikut rapat dengan PMII Pohuwato”—pertanyaan yang sama sekali melenceng dari inti persoalan. Masyarakat tidak datang untuk menghitung rapat. Mereka datang menuntut kejelasan:
Apa langkah tegas Pansus? Apa rekomendasi yang sudah lahir? Bagaimana Pansus menyikapi dugaan keberpihakan yang muncul dalam rekaman tersebut?
Di titik ini, jelas terlihat bahwa Pansus—yang seharusnya menjadi garda terdepan memperjuangkan kepentingan rakyat—justru tampak alergi terhadap kritik. Padahal konstitusi melalui UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jika aturan setinggi konstitusi saja sudah jelas berpihak kepada rakyat, mengapa Pansus terlihat justru lebih risih ketika rakyat meminta pertanggungjawaban?
Belum lagi UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang memberikan ruang sah bagi masyarakat untuk mengkritik, mempertanyakan, dan mengoreksi kebijakan publik. Kehadiran massa aksi yang menuntut kejelasan adalah bagian dari hak demokratis, bukan ancaman.
Destian menegaskan bahwa kunjungan mereka bukan untuk mengusik, tetapi untuk memastikan bahwa Pansus benar-benar bekerja demi rakyat, bukan demi kepentingan investor apalagi kepentingan gelap para mafia tambang. Apalagi persoalan pertambangan di Pohuwato dan Bone Bolango terus menimbulkan keresahan, konflik, hingga dugaan permainan izin yang tak kunjung terselesaikan.
Oleh karena itu, Destian berkomitmen untuk terus mengawal isu ini sampai tuntas. Ia menegaskan bahwa gerakan ini tidak akan berhenti hanya karena arogansi pejabat.
Selama rakyat belum mendapatkan keadilan, perjuangan akan terus dilanjutkan.
(JO)




