Skrinews - Dilema Politik Dinasti Pada Pilkada Serentak 2020

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 


Skrinews.com - Universitas Muhammadiyah Malang.
Melihat realitas politik tanah air belakangan ini, argumen hobbes tentang hasrat pada kekuasaan tampaknya masih relevan dengan apa yang terjadi di indonesia sampai sekarang ini. Pasca reformasi 1998 Indonesia mengadopsi sistem demokrasi yang terbuka, bahkan cenderung mengarah pada liberal. Terbukanya ruang publik politis kemudian segera diikuti dengan fenomena riuh rendahnya kontestasi politik atau perebutan kekuasaan tingkat nasional maupun tingkat lokal.
Politik dinasti banyak melahirkan residu politik. Fenomena ini sudah ada sejak lama. Kita banyak menemukan jabatan publik dipertukarkan dari, oleh dan untuk keluarga inti. Praktik dinasti politik ini dalam banyak hal melahirkan dilema yang mencemaskan, banyak masyarakat menilai bahwa dinasti politik harus segera dihilangkan. Istilah lain dari politik dinasti kerap disebut sebagai politik kekerabatan.Mengutip Mahkamah Konstitusi, bahwa politik dinasti adalah model kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih ada hubungan keluarga atau kekerabatan.
Elit Kekuasaan
Politik dinasti memiliki sisi positif dan negatif. Itu semuanya tergantung pada proses dan hasil (outcomes) dari jabatan kekuasaan yang dipegang oleh jaringan dinasti politik yang bersangkutan. Awalnya, keluarga inti incumbent (petahana) tidak diperbolehkan untuk mencalonkan diri berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang. Hal ini, tertuang dalam pasal 7 huruf r yang intinya pencalonan tak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Masalah terberat dalam hal ini adalah persepsi, yakni bagaimana meyakinkan masyarakat untuk tidak takut dengan keberadaan politik dinasti. Didukung dengan proses pemilihan kepala daerah yang demokratis, sebenarnya Pilkada bisa diikuti siapa saja. Justru yang harus dikendalikan adalah politik uang yang merajalela dalam setiap perhelatan Pilkada di banyak daerah.
Semenjak otonomi daerah diberlakukan, di sejumlah daerah kemudian bermunculan dinasti-dinasti politik. Misalnya, di Banten dinasti keluarga Ratu Atut Chosiyah yang menguasai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan seluruh kabupaten di Banten. Contoh lain, di kabupaten bima NTB, terdapat dinasti keluarga Feri. Dia pernah menjabat sebagai Bupati bima, dan kemudian istrinya menjadi Bupati menggantikan dia. dan posisi anaknya sebagai ketua dprd kabupaten bima.
Dalam praktek keseharian, para elite politik yang masih mengusung anggota keluarga menjadi caleg atau calon kepala daerah lantaran pertalian darah masih dianggap lebih bisa dipercaya dan tidak mungkin berkhianat seperti yang dilakukan para politikus lainnya. Ini yang biasanya disebut political priveleges keluarga, atau politisikarbitan. Akan tetapi tidak semua produk jaringan dinasti ini dikatakan karbitan, atau political credential kreasi mereka sendiri, yang melahirkan politisi sejati yang tidak hanya mengandalkan modal petahana. Political credencials bisa diperoleh melalui tiga jalur. Pertama, aktivisme sosial politik yang mendapat pengakuan publik sehingga melahirkan sosok politisi genuine, kredibel, dan bereputasi cemerlang. Dalam hal ini penguasa bisa mendapatkan perhatian khusus dari publik dengan langsung menyapa masyarakat. Gaya pendekatan masyarakat pada saat ini lebih senang apabila penguasa melakukan pendekatan emosional sehingga bisa langsung mendengarkan permintaan dari masyarakat.
Etika Politik
Untuk menjadi seorang pemimpin mutlak dituntut punya pemahaman yang sahih tentang politik, karena dalam politik bukanlah alat untuk meraih kekuasaan semata-mata, melainkan alat untuk mewujudkan tata kehidupan yang adil, damai dan sejahtera untuk rakyat dan jika politik dipahami sebagai alat untuk meraih kekuasaan niscaya terjebak dalam kompetisi meraih dan mempertahankan jabatan, dengan menghalalkan segala cara. Politik seperti itu dalam implementasinya dipastikan abai pada norma dan etika politik, maka sewajarnya politik praktis identik dengan konspirasi, intrik, konflik bahkan prilaku-prilaku koruptif. Miris juga sih!!
Banyaknya bukti konkrit praktik politik dinasti terutama pada pemilu kepala daerah yang membangun dinasti politik dan kemudian terjerat kasus korupsi adalah contoh nyata bagaimana politik dinasti lekat dengan penyelewengan kekuasaan. Politik dinasti ini diakui merebak dan berkembang dalam demokrasi di indonesia sebagai sebuah manifestasi dari absennya etika politik di pentas politik, terutama pada level daerah. Demokrasi pilkada pada otonomi daerah yang sedianya bertujuan memeratakan hasil pembangunan justru melahirkan raja-raja kecil yang menjadikan kekuasaannya sebagai alat memperkaya diri dan kerabat dan mengabaikan kepentingan masyarakat banyak.
Jika memang tujuan demokrasi kearah kesejahteraan masyarakat, maka Demokrasi Politik dinasti justru akan bertolak dari tujuan demokari itu sesungguhnya, maka alangkah baiknya kita tidak ikut dan tidak mendukung secara etika berkembangnya Politik Dinasti, melalui gerakan menolak dinasti politik yang dibeberapa daerah termasuk di Propinsi banten sudah pernah berkembang Dinasti Politik sebagaimana kita kenal dengan Dinasti ratu atut, begitu juga di beberapa tempat lain yang juga ditolak secara etika dan moral berkembangnya Politik Dinasti ini.