Oleh : Nor hayati
Mahasiswa Akuntansi, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Universitas Muhamadiyah Malang
Suaraindonesia1.com - Pembiayaan murabahah berada pada system transaksi jual-beli, Seperti yang telah kita ketahui secara umum bahwa dalam melakukan transaksi jual beli dalam syariah islam harus ada rukun dan syarat dalam transaksi tersebut. Pembiayaan murabahah berlandasan pada fatwa DSN-MUI, UU, dan PSAK. Peraturan peraturan tersebut yang mendasari pembiayaan murabahah, namun pada perbankkan syariah dalam praktiknya banyak terjadi penyimpangan- penyimpangan, dan belum adanya keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah.
Dalam prakteknya, ada beberapa tipe penerapan murabahah yaitu Tipe pertama konsisten terhadap fiqih muamalah. Tipe Kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier - nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank, dan Tipe Ketiga Bank melakukan perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
Namun dari ketiga konsep yang sering digunakan oleh lembaga keuangan syariah pada pembiayaan tersebut masih terjadi penyimpangan maka masih perlu ditinjau dan di evaluasi ulang karena meskipun pembiayaan tersebut di anggap sah menurut hukum KUHP, tetapi masih belum sah secara hukum islam karena masih tidak terpenuhinya rukun jual beli yaitu atas kepemilikan objek murabahah tersebut. Maka dari itu melakukan pengembangan konsep yang ada yaitu dengan system kerjasama antara bank dan supliyer.
Adapun Pengertian Murabahah menurut Al-Qur’an, tidak pernah secara langsung membicarakan tentang murabahah, meski di sana ada sejumlah acuan tentang jual beli, laba, rugi, dan perdagangan. Demikian pula dalam hadis, tampaknya tidak ada hadis yang memiliki rujukan langsung kepada murabahah. Namun murabahah ini, meski sedikit ada pembahasan jual beli dalam kitab-kitab fiqh. aturan yang mendasari transaksi murabahah yaitu Standart Nasioal Majelis Ulama Indonesia (SN MUI) dan PSAK 102.
Konsep Pembiayaan Murabahah
Para ekonom-ekonom Islam dan ahli-ahli Fiqh, menganggap Murabahah sebagai bagian dalam jual beli. maka, secara umum kaidah yang digunakan adalah jual beli. Sebagai akad jual beli maka murabahah memiliki rukun dan syarat jual beli, diantaranya; Rukun jual beli murabahah ada tiga, yaitu orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), akad (ijab qabul), dan ma’kud alaih (obyek akad). Sedangkan syarat yang harus dipenuhi pada barang yang akan diperjual belikan sesuai dengan fatwa DSN nomor 4/DSN-MUI/IV/2000 ada empat syarat diantaranya; 1) barang harus ada 2) barangnya berupa harta yang jelas harganya 3) barang dimiliki sendiri dan 4) barang diserahkan pada waktu akad.
Adapun mekanisme pembiayaan murabahah bank syariah adalah sebagai berikut
Nasabah mengajukan permohonan pembelian barang kepada bank.
Bank mempelajari permohonan nasabah. Apabila diterima, maka bank membeli barang/ aset sesuai spesifikasi pesanan nasabah secara sah dari penjual pertama.
Bank menawarkan barang dengan spesifikasi yang diminta dan nasabah harus membelinya sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Bank dan nasabah melakukan transaksi jual beli murabahah meliputi negosiasi harga, sistem dan jangka waktu pembayaran, ijab dan kabul, serah terima barang.
Nasabah membayar kewajibannya kepada bank, baik secara angsur atau sekaligus dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama.
Konsep dan Penerapan Pembiayaan Murabahah seperti yang telah kita ketahui secara umum bahwa dalam melakukan transaksi jual beli dalam syariah islam harus ada rukun dan syarat dalam transaksi tersebut.
Pembiayaan murabahah berlandasan pada fatwa DSN-MUI, UU, dan PSAK. Peraturan peraturan tersebut yang mendasari pembiayaan murabahah, pada perbankkan syariah dalam praktiknya belum ada keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah dimungkinkan beberapa faktor yang melatar belakanginya.
Transaksi tersebut lebih dekat dengan murabahah yang asli, tapi rawan dari masalah legal. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya klaim nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada bank, tapi kepada pihak ketiga yang mengirimkan barang. Kasus tersebut banyak terjadi dikarenakan, meskipun nasabah telah menandatangani perjanjian murabahah dengan bank, perjanjian ini kurang memiliki kekuatan hukum karena tidak ada tanda bukti bahwa nasabah menerima uang dari bank sebagai bukti pinjaman/hutang. Untuk mengindari kejadian seperti itu maka ketika bank syariah dan nasabah telah menyetujui untuk melakukan transaksi murabahah maka bank akan mentransfer pembayaran barang ke rekening nasabah (numpang lewat) kemudian didebet dengan persetujuan nasabah untuk ditranfer ke rekening supplier. Dengan cara seperti ini maka ada bukti bahwa dana pernah ditranfer ke rekening nasabah. Namun dengan model murabahah seperti ini tetap saja berpeluang melanggar ketentuan syariah, ini dikarenakan pihak bank sebagai pembeli pertama tidak pernah menerima barang (qabdh) atas namanya tetapi langsung atas nama nasabah. Karena dalam prinsip syariah akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Ada beberapa tipe penerapan murabahah dalam praktik perbankan syariah, yang dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:
Tipe Pertama penerapan murabahah dengan tipe konsisten terhadap fiqih muamalah. Tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.
Tipe Kedua hampir mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.
Tipe ketiga, Bank melakukan perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dana lalu dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima uang. Tanda terima uang ini menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana pinjaman. Tipe ini yang sering diterapkan oleh LKS.Tipe ketiga ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, sementara akad jual beli murabahah telah dilakukan sebelum barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Pada konsep tipe ke 3, Konsep tersebut sangat rentan terhadap penyalahgunaan dana yang diperoleh atas akad murabahah. Ini dikarenakan pihak LKS langsung memberikan dana tersebut kepada nasabah tanpa mengetahui secara jelas penggunaan dana tersebut, missal dalam akad dana tersebut akan digunakan untuk renovasi rumah (membeli semen) akan tetapi nasabah menyalahgunakan dana tersebut untuk membeli furniture bukan untuk memebeli semen. Hal ini sering terjadi karena kurangnya evaluasi terhadap penggunaan dana tersebut. Pihak bank juga tidak akan ambil pusing untuk hal seperti ini, pihak bank biasanya hanya mementingkan kewajiaban akan angsuran nasabah tersebut terpenuhi.
Dalam memberikan layanan murabahah untuk tipe 2 dan 3 tersebut perlu ditinjau dan dievaluasi ulang karena walaupun murabahah dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan dianggap sah menurut hukum, tetapi transaksi tersebut secara hukum Islam masih dikatakan tidak sah karena tidak terpenuhinya salah satu rukun jual beli yaitu kepemilikan atas obyek murabahah. Sebagai alternatif, bank dapat melakukan sistem perwakilan pengadaan barang kepada nasabah sesuai dengan acuan yang ditetapkan oleh DSN-MUI atau mengadakan kerja sama dengan supplier barang dimaksud sehingga murabahah memenuhi standar, baik secara hukum maupun sosial.
Permasalahan lain yang sering terjadi biasanya tentang penundaan pembayaran murabahah. Seperti yang dijelaskan pada fatwa DSN-MUI mengenai hal “Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan”. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan (praktisis) Bank Syariah Mandiri, pernyataan/fatwa ini tidak sejalan dengan kenyataanya. Kenyataan yang ada di lapangan bahwa penundaan ini tetap menjadi kewajiban yang harus dibayar oleh nasabah dan juga dikenakan denda atas penundaanya tersebut.
Permasalahan lain tentang potongan tagihan dalam murabahah. Seperti yang dijelaskan pada fatwa DSN- MUI mengenai hal potongan tagihan dalam murabahah terutama pada nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan (praktisis) Bank Syariah Mandiri, potongan pembayaran tagihan tersebut hampir tidak pernah ada kenyataannya.
Evaluasi Terkait Konsep Pembiayaan Murabahah murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli amanah, terkait dengan segala aturan syariah yang berlaku pada jual dan aturan khusus yang berlaku pada murabahah sebagai jual beli amanah. Dalam praktik murabahah bank syariah, baik mengacu kepada ketetapan DSN- MUI maupun praktiknya di sektor perbankan, rukun jual beli berupa keberadaan dua pihak yang bertransaksi, obyek jual beli, harga, dan akad telah terpenuhi dan sesuai dengan tuntunan syariah. Akan tetapi, terdapat beberapa hal terkait murabahah yang perlu dievaluasi kembali dalam pelaksanaannya seperti obyek murabahah.






