WATI WONA SUARAINDONESIA1).
Kodi , sebuah Wilyah dengan beragam potensi sumber daya alamnya. Kodi boleh berbangga akan hal itu. Namun, banyak potensi bukan berarti wilayah tidak luput dari tantangan pembangunan. Salah satu tantangan pembangunan yang cukup sulit diatasi adalah permasalahan lahan. Lahan adalah asal dan sumber makanan. Lahan merupakan bidang tanah untuk pembangunan rumah dan bangunan, sehingga kepemilikan lahan menjadi isu yang pelik.
Mengapa permasalahan lahan bisa terjadi? Permasalahan lahan atau agraria di di kabupaten Sumba barat daya umumnya menghadapkan masyarakat setempat dengan kekuatan modal (korporat) dan atau instrumen Daerah. Permasalahan lahan umumnya bermula dari kebijakan monopoli kepemilikan lahan oleh Kampung ngudu NGAMBA dengang kampung Galu KALOGHO,. Selanjutnya dua pihak ini mengkomersialisasikan lahan tersebut untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini yang seringnya sulit untuk diatasi.
Secara umum, permasalahan lahan di Desa watu Wonana kecamatan Kodi Kabupaten Sumba barat daya dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan pengakuan kepemilikan atas tanah, peralihan hak atas tanah, pembebanan hak, dan pendudukan eks tanah partikelir. Permasalahan lahan tidak saja menyangkut faktor Garapan , tetapi juga menjadi faktor yang menentukan hubungan sosial dan perkembangan masyarakat.
Satu hal yang menarik adalah masalah ketimpangan akses masyarakat terhadap sumberdaya kepemilikan khususnya lahan yang menyangkut masalah penguasaan, kepemilikan, dan pengusahaan lahan. Kondisi tersebut telah menyebabkan ketimpangan pada pemanfaatan, diikuti perbedaan tingkat kesejahteraan antara masyarakat yang mempunyai akses dan yang tidak mempunyai akses terhadap sumber daya lahan, khususnya pada masyarakat agraris di daerah pedesaan Desa watu Wona
Jadi, mengapa permasalahan lahan didesa watu Wona sulit diatasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menilik faktor-faktor dominan yang menimbulkan permasalahan lahan di Wilayah desa itu
Peraturan yang belum lengkap
Ketidaksesuaian peraturan
Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia
Data yang kurang akurat dan kurang lengkap
Data tanah yang keliru
Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah
Transaksi tanah yang keliru
Ulah pemohon hak
Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan
Di samping itu, maraknya konflik agraria yang terjadi berhubungan erat dengan meningkatnya perampasan tanah (land grabbing). Fenomena tersebut dipicu oleh peningkatan permintaan akan kebutuhan pangan global. Harga pangan dunia yang semakin tinggi, membuat negara-negara maju melirik negara-negara berkembang yang memiliki lahan luas untuk dibeli dan disewa lahannya sehingga negara-negara maju tersebut tidak harus mengimpor bahan-bahan makanan yang mereka butuhkan. Selain itu, perampasan tanah juga merupakan suatu upaya perluasan kapitalisme melalui pemberlakuan hukum agraria baru yang mengekang rakyat kecil.
Kompleksnya faktor pemicu permasalahan lahan, mulai dari aspek regulasi, pendataan, hingga kapitalisme menjadikan konflik pertanahan tidak semudah itu diselesaikan. Permasalahan lahan adalah konflik berkepanjangan yang prosesnya membutuhkan sistem dan mekanisme yang sistematis untuk menyelesaikannya secara holistik. Dibutuhkan sinergitas dari berbagai pihak agar dapat menemukan win-win solution yang mendukung produktivitas dari masing-masing pihak. Pemerintah dalam hal ini sebagai mediator yang harus mampu melakukan perubahan peraturan agraria dan mengubah sistem pertanahan yang bisa menjawab permasalahan lahan. Salah satu solusi yang menjawab hal tersebut adalah land reform.,(Liptan Tibo suaraIndonesia online,PPWI).