BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

Kapitalisme Ekstraktif dalam Eksploitasi Keindahan Raja Ampat




Sekjen PMKRI, SUARAINDONESIA1.COM---Raja Ampat, gugusan pulau-pulau di ujung barat Papua, telah lama dipromosikan sebagai ikon keindahan dan kekayaan hayati Indonesia. Lebih dari 1.500 spesies ikan dan 600 jenis terumbu karang, kawasan ini dinobatkan sebagai salah satu pusat biodiversitas laut terbesar di dunia oleh Conservation International dan WWF. 


Namun, di balik narasi pariwisata eksotis dan pembangunan berkelanjutan, berlangsung krisis ekologis dan sosial yang masif dan kian akut. Di balik narasi eksotis yang digaungkan oleh negara, bersembunyi suatu ideologi pembangunan yang menjadi akumulasi modal pengusaha yang menghabisi seluruh kepentingan masyarakat lokal dan seluruh lokalitasnya.


Beragam proyek investasi mulai dari pertambangan nikel, reklamasi pantai, hingga pembangunan resort mewah dan pelabuhan besar telah menggerus ruang hidup masyarakat adat serta mempercepat degradasi lingkungan. Klaim "pembangunan hijau" yang sering digaungkan tidak lebih dari wajah baru kolonialisme lingkungan, mengabaikan dimensi spiritual dan ekologis yang telah lama menjadi dasar relasi masyarakat adat dengan alam.



Bagi masyarakat adat Papua, hutan adalah ibu! Dan setiap mereka terikat secara budaya dengan ibu bumi tersebut. Kolonialisme pembangunan yang merusak ibu bumi sama artinya dengan menghancurkan akar-akar kebudayaan orang Papua dan dengan demikian berdampak pada penghancuran identitas orang asli Papua di tanah mereka sendiri.


Eksploitasi Raja Ampat tidak dapat dilepaskan dari pola kapitalisme ekstraktif, yaitu bentuk kapitalisme yang bergantung pada eksploitasi intensif sumber daya alam untuk akumulasi modal. Dalam konteks ini, alam direduksi menjadi komoditas, bukan entitas hidup atau bagian dari kehidupan kolektif.



Teori kolonialisme lingkungan (environmental colonialism) memperlihatkan hubungan antara negara dan wilayah pinggiran seperti Papua sebagai cerminan relasi penjajahan tanah dan sumber dayanya yang dikuasai atas nama pembangunan nasional, sementara suara masyarakat lokal dibungkam. Teori ini melihat bagaimana proyek-proyek infrastruktur, pertambangan, dan pariwisata justru memperkuat ketimpangan struktural dan memperpanjang warisan kolonial dalam bentuk yang lebih modern.


Pertambangan yang dilakukan di Raja Ampat, atas restu negara itu, memperlihatkan dengan jelas kepada kita tentang relasi konfliktual yang asimetris antara negara-pengusaha dengan komunitas masyarakat adat. Krisis ekologis itu tidak hanya soal teknis yang dapat diselesaikan dengan kehadiran Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Raja Ampat dengan puluhan mata kamera yang menyorotinya, tetapi merupakan konflik kelas, identitas, dan kuasa. Siapa yang mendapat manfaat? Siapa yang menanggung dampak?



Krisis Ekologi dan Tipping Point

Seiring meningkatnya aktivitas pertambangan dan reklamasi, ekosistem Raja Ampat menghadapi ancaman serius. Berdasarkan teori tipping point ekologis, sistem alam dapat menanggung perubahan hanya hingga ambang batas tertentu. Setelah batas itu dilampaui, perubahan bisa terjadi drastis dan permanen, menciptakan keruntuhan ekosistem yang tidak bisa dipulihkan.


Faktor-faktor seperti sedimentasi dari tambang, peningkatan suhu laut, serta polusi dari kapal wisata dan limbah industri menyebabkan stres akut pada terumbu karang dan spesies laut. Kerusakan ini juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada laut, baik sebagai sumber pangan, tempat spiritual, maupun simbol identitas budaya.


Kasus tabrakan kapal Caledonian Sky pada 2017, yang menghancurkan 1.600 meter persegi terumbu karang, menjadi contoh nyata keterhubungan antara wisata eksklusif dan kerusakan ekologis. Kerugian ekologis senilai Rp 29 miliar tidak hanya gagal dipulihkan, tetapi juga tidak membawa pertanggungjawaban memadai.

Spiritualitas ekologis sebagai landasan pembangunan

Masyarakat adat Maya dan Biak di Raja Ampat memiliki sistem nilai yang sangat berbeda dari pendekatan ekonomi negara dan korporasi. Bagi mereka, laut dan gunung bukan sekada ruang ekonomi, melainkan entitas hidup dan spiritual.



Dalam kosmologi adat, gunung adalah ibu, laut adalah nafas. Hukum adat seperti sasi laut telah menjaga keberlanjutan sumber daya secara turun-temurun. Namun, sistem ini kini lumpuh akibat tekanan hukum negara yang tidak mengakui kedaulatan adat secara utuh.


UU No. 32 Tahun 2009 mewajibkan partisipasi masyarakat dalam perlindungan lingkungan, sementara UU No. 11 Tahun 2005 yang meratifikasi Kovenan Hak Ekosob menekankan hak atas lingkungan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun, dalam prakteknya, masyarakat adat jarang dilibatkan secara penuh dalam penyusunan dokumen AMDAL atau dalam evaluasi proyek investasi. Ini melanggar prinsip keadilan ekologis dan hak menentukan nasib sendiri.


Pada awal Juni 2025, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengumumkan penghentian sementara operasi tambang PT GAG Nikel. Meski terkesan responsif, kebijakan ini lebih menyerupai strategi depolitisasi & mengalihkan tekanan publik tanpa menyentuh akar masalah. Padahal perusahaan telah aktif sejak 2018 dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak 2017.


Evaluasi yang dilakukan tidak mengikutsertakan masyarakat adat secara substantif. Justifikasi bahwa “tidak ada masalah serius dalam reklamasi” menjadi bentuk normalisasi kerusakan ekologis. Pemerintah, dalam hal ini, lebih berpihak pada kesinambungan investasi dibandingkan keselamatan ekologis dan keberlanjutan budaya.


Lebih mengkhawatirkan, lima izin tambang lain masih aktif di wilayah Raja Ampat. Tanpa komitmen penghentian total, penghancuran ekologis hanya tertunda, bukan dihentikan. Evaluasi teknis tanpa perubahan struktur politik-ekonomi adalah bentuk lain dari pembenaran status quo.


Dalam situasi krisis ini, gerakan ekologis dan rakyat adat harus bersatu untuk mendorong perubahan struktural, bukan sekadar penundaan administratif. Tuntutan konkret yang harus segera dijalankan antara lain:

Pertama, penghentian total seluruh izin tambang di wilayah Raja Ampat sebagai bentuk perlindungan menyeluruh terhadap ekosistem.



Kedua, pengakuan dan penguatan hukum adat sebagai pilar utama konservasi yang terbukti lebih berkelanjutan daripada intervensi negara-korporasi.


Ketiga, moratorium nasional terhadap pertambangan dan reklamasi di pulau-pulau kecil, mengingat daya dukung ekologinya sangat terbatas.


Keempat, demiliterisasi kawasan adat dan penghentian represi terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat adat, demi memastikan ruang demokrasi tetap hidup.

Gerakan ini tidak hanya bersifat lokal, tetapi merupakan bagian dari gerakan ekologi radikal global yang menolak pendekatan teknokratis dan menuntut transisi menuju sistem sosial ekologis yang adil dan berakar pada kearifan lokal.


Eksploitasi Raja Ampat bukanlah soal pembangunan atau ketertinggalan, tetapi cerminan dari sistem ekonomi yang gagal memandang alam sebagai mitra hidup. Raja Ampat adalah tubuh kolektif, bukan objek eksploitasi. Ia adalah ibu, bukan komoditas. Suara masyarakat adat harus menjadi pusat dalam setiap proses pengambilan keputusan. 


Tanpa keadilan ekologis, tidak akan ada keadilan sosial. Tanpa pengakuan atas kedaulatan adat, tidak akan ada keberlanjutan. Kita tidak bisa menyelamatkan lingkungan jika kita terus mengabaikan penjaganya.


**** EL.FP ****


( SUARAINDONESIA1.COM ).

NEXT »