BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

Presiden Datang, Asa Menggema: Momentum Berdirinya Provinsi Bolaang Mongondow Raya



Bolaang Mongondow Selatan, SuaraIndonesia1.com – Kunjungan Presiden Republik Indonesia ke Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan pada 28 Juli 2025 bukan sekadar rutinitas protokoler kenegaraan. Bagi masyarakat Bolaang Mongondow Raya (BMR), kehadiran kepala negara membawa nyala baru bagi sebuah cita-cita lama: berdirinya Provinsi Bolaang Mongondow Raya.


Andika Wijaya Putra, salah satu tokoh pemuda BMR, menegaskan bahwa di balik prosesi penyambutan dan sorak-sorai di lapangan, tersimpan gema aspirasi pemekaran yang selama ini terpinggirkan oleh kebijakan dan kepentingan di pusat kekuasaan.


“Bolaang Mongondow Raya yang terdiri atas Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Timur, dan Kota Kotamobagu memiliki identitas geografis, sosial, dan historis yang khas. Dengan luas wilayah yang signifikan, potensi sumber daya yang menjanjikan, serta infrastruktur pemerintahan yang relatif mapan, daerah ini telah memenuhi sebagian besar persyaratan administratif untuk menjadi provinsi baru,” ujar Andika.


Aspirasi pembentukan Provinsi BMR telah bergulir sejak awal era Reformasi, yakni sekitar tahun 2001 hingga 2003. Kala itu, ide pemekaran mulai diperjuangkan oleh tokoh masyarakat, akademisi, dan birokrat lokal yang menyadari ketimpangan pembangunan antara wilayah Bolaang Mongondow dan daerah lain di Sulawesi Utara, khususnya Minahasa yang lebih dekat ke pusat pemerintahan provinsi di Manado.


Rivaldi Bulilingo, aktivis muda yang aktif dalam berbagai forum mahasiswa BMR, menambahkan bahwa perjuangan pemekaran makin konkret pada 2004–2005.


“Gelombang desentralisasi semakin kuat. Pada 2006–2007, perjuangan itu diformalisasi dengan pembentukan Tim Percepatan dan Panitia Perjuangan Provinsi BMR, lengkap dengan naskah akademik, kajian yuridis, dan pemetaan administratif. Bahkan di kalangan mahasiswa, baik forum formal maupun non-formal, selalu disuarakan untuk terciptanya daerah otonom baru yaitu Provinsi Bolaang Mongondow Raya,” ungkap Rivaldi.


Menurutnya, semua upaya ini membuktikan bahwa BMR bukan sekadar wacana emosional, tetapi aspirasi yang berbasis data, analisis, dan legitimasi sosial-politik.


Namun realitas tak selalu sejalan dengan logika objektif. Sejak tahun 2014, upaya pemekaran wilayah di seluruh Indonesia terhenti akibat moratorium yang diberlakukan pemerintah pusat. Alasan yang dikemukakan adalah efisiensi fiskal dan evaluasi terhadap daerah hasil pemekaran sebelumnya. Namun dalam praktiknya, moratorium ini telah menjadi tembok besar yang menahan laju aspirasi daerah-daerah yang justru paling siap dan paling memerlukan otonomi baru. Salah satunya adalah Bolaang Mongondow Raya.


Dalam konteks inilah, kehadiran Presiden menjadi momen langka dan strategis. Di hadapan pemimpin tertinggi negara, masyarakat BMR menyampaikan suara mereka secara langsung—bukan sekadar melalui surat resmi atau jalur birokrasi yang berliku.


Kehadiran Presiden bukan hanya sekadar helikopter mendarat. Karpet merah digelar. Spanduk penuh harapan dibentangkan. Lagu-lagu penyambutan diputar di pengeras suara yang menggelegar. Tapi lebih dari itu, momentum ini dijadikan panggung rakyat untuk menyatakan: meskipun moratorium berlaku, aspirasi tidak bisa dimoratorium.


Ketika Presiden menginjakkan kaki di Bolaang Mongondow Selatan, gema perjuangan itu kembali menguat. Suara rakyat yang telah lama tersimpan dalam ruang-ruang aspirasi kini disuarakan langsung di hadapan pemimpin tertinggi negeri ini. Momen ini menegaskan bahwa perjuangan BMR bukan hanya wacana elit daerah, tetapi kehendak kolektif rakyat yang merindukan kemajuan setara. Keinginan untuk mandiri, untuk mengelola rumah tangga daerah sendiri, tidak bisa dibungkam hanya oleh alasan efisiensi yang tidak pernah benar-benar dijelaskan kepada publik.


Harapan itu semakin besar ketika publik menengok kembali sejarah Provinsi Gorontalo. Dulu, Gorontalo adalah bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, sama seperti BMR saat ini. Aspirasi pemekaran telah ada sejak lama, namun tak kunjung direspons pusat. Titik baliknya datang ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Gorontalo pada tahun 2000. Tak lama setelah kunjungan itu, melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000, Gorontalo resmi berdiri sebagai provinsi sendiri. Momentum itulah yang kini dijadikan cermin dan inspirasi oleh masyarakat BMR.


Namun situasi kini berbeda. Pemerintah pusat lebih konservatif dalam menyetujui pemekaran. Tapi masyarakat BMR tidak tinggal diam. Mereka memperkuat struktur pemerintahan, meningkatkan kualitas pelayanan publik, menyatukan suara politik, dan menunjukkan bahwa daerah ini tidak hanya siap secara administratif, tetapi juga dewasa secara politik.


Angin segar datang dari selatan Bolaang Mongondow Raya, ketika pada 28 Juli 2025 Presiden RI sebagai simbol negara datang berkunjung untuk meresmikan rumah relokasi korban bencana Gunung Ruang Tagulandang. Di tengah agenda tersebut, gema aspirasi pemekaran justru menguat.


Bolaang Mongondow Raya tidak meminta keistimewaan. Yang diminta adalah kesetaraan. Kesempatan yang adil untuk tumbuh. Pengakuan terhadap identitas dan kapasitas. Jika pemerintah pusat memiliki keberanian politik dan mendengar suara rakyat, maka Provinsi Bolaang Mongondow Raya bukan lagi sekadar impian, tapi kenyataan yang tinggal menunggu pengesahan.


Dan jika sejarah Gorontalo bisa terulang, maka tidak ada alasan untuk terus membiarkan BMR terkatung-katung dalam ketidakpastian. Di tangan negara ada keputusan, tapi di tangan rakyat, ada tekad yang tak akan mati.


Reporter: Jhul Ohi

« PREV
NEXT »