BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

KOPERASI DESA SEBAGAI SOLUSI KETAHANAN PANGAN: Realitas atau Ilusi dalam Mendukung Program Makan Bergizi Gratis di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan


BOLMONG SELATAN, suaraindonesia1.com – Di era kebijakan gizi nasional yang semakin ambisius, termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dipercepat pelaksanaannya pada 2025, praktik dan institusi lokal diuji kemampuannya untuk menjawab kebutuhan nyata masyarakat. Salah satu institusi yang kerap disebut sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi dan ketahanan pangan di pedesaan adalah Koperasi Desa.


Sejak keluarnya panduan penggunaan Dana Desa untuk ketahanan pangan, Pemerintah mendorong alokasi sumber daya desa untuk kegiatan yang memperkuat swasembada dan ketahanan pangan lokal termasuk penguatan Koperasi Desa untuk mengelola rantai pasok pangan, penyimpanan, diversifikasi produk, serta penyediaan pangan bergizi. Panduan ini memberi landasan hukum dan peluang pembiayaan bagi Koperasi Desa untuk berperan strategis dalam program ketahanan pangan desa. Dilansir dari https://www.kemdikbud.go.id bahwa program MBG berskala nasional menargetkan ±83 juta siswa penerima manfaat di seluruh Indonesia.


Data kuantitatif yang diperoleh dari https://bolselkab.bps.go.id memperlihatkan bahwa Bolsel memiliki basis produksi pangan yang cukup signifikan. Luas lahan sawah mencapai 4.536 hektare dengan produksi padi tahun 2023 sebesar 22.158 ton Gabah Kering Giling (GKG), setara ±13.295 ton beras. Jumlah ini relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan beras penduduk ±70.000 jiwa. Artinya, Bolsel memiliki surplus beras ±6.800 ton. Selain itu, produksi jagung sekitar 37.500 ton per tahun menjadikan komoditas ini sebagai basis diversifikasi pangan lokal yang kuat.


Namun dari sisi sosial, tantangan cukup besar. Dikutip dari https://sulut.bps.go.id tahun 2023, menyatakan bahwa tingkat kemiskinan di Bolsel masih 15,32%, lebih tinggi dari rata-rata Sulawesi Utara yang 7,62%. Angka kemiskinan ekstrem di Bolsel mencapai lebih dari 3%, yang berarti sekitar 2.100 orang hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem. Kondisi gizi anak-anak juga mengkhawatirkan, prevalensi stunting balita mencapai 24%, jauh dari target nasional 14% pada 2024. Fakta ini memperlihatkan bahwa MBG bukan sekadar program tambahan, melainkan kebutuhan mendesak.


Jika program MBG menyasar seluruh siswa SD dan SMP di Bolsel, terdapat ±16.700 anak sekolah sebagai penerima manfaat. Dengan estimasi anggaran MBG nasional Rp15.000–20.000 per anak per hari, maka kebutuhan biaya MBG di Bolsel mencapai Rp250–330 juta per hari, atau Rp50–65 miliar per tahun. Angka ini menghadirkan potensi pasar yang besar bagi pemasok lokal, termasuk Koperasi Desa.


Koperasi Desa sendiri telah terbentuk di lebih dari 65 dari 81 desa di Bolsel, meski hanya sekitar 30% yang aktif dengan laporan usaha reguler. Rata-rata modal awal berkisar Rp50–100 juta dari Dana Desa. Jika diarahkan pada usaha pangan bergizi, dengan proyeksi pasar MBG senilai Rp50–65 miliar per tahun, Koperasi Desa berpotensi menyerap minimal Rp15–20 miliar per tahun. Dengan asumsi setiap Koperasi Desa aktif bermitra dengan 10 petani lokal, maka potensi pemberdayaan mencapai ±650 petani desa.


Namun, klaim bahwa Koperasi Desa otomatis menjadi solusi tunggal juga berisiko menjadi ilusi. Beberapa hambatan menonjol adalah modal dan investasi terbatas, manajemen dan kapasitas teknis yang lemah, rantai pasok dan skala produksi kecil, sinkronisasi kebijakan, serta risiko politisasi.


Dengan demikian, Koperasi Desa berpotensi menjadi pilar nyata dalam mendukung MBG jika memenuhi syarat: pembiayaan yang diperkuat melalui Dana Desa/APBD; penguatan kapasitas manajerial dan gizi; kemitraan dengan dinas pendidikan, kesehatan, dan kelompok tani; pembangunan fasilitas bersama untuk pengolahan dan distribusi; serta transparansi dan akuntabilitas publik.


Strategi konkret yang dapat ditempuh adalah pemetaan Koperasi Desa aktif, skema hibah/APBD, pembentukan hub logistik desa, perjanjian pembelian jangka menengah, dan pelatihan terpadu.


Koperasi Desa bukan sekadar ilusi; data menunjukkan potensi riil untuk menopang MBG di Bolsel. Namun, kondisi aktual memperlihatkan bahwa tanpa modal tambahan, penguatan kapasitas, dan koordinasi lintas sektor, Koperasi Desa hanya akan menjadi simbol tanpa dampak substansial. Dengan strategi yang tepat dan dukungan kuantitatif yang jelas, Koperasi Desa dapat bergerak dari sekadar potensi menuju realitas konkret dalam memperkuat ketahanan pangan dan mendukung program Makan Bergizi Gratis di Bolsel. 


(Rep/JO)

« PREV
NEXT »