Gorontalo, suaraindonesia1.com - Demokrasi seharusnya menjamin ruang bagi rakyat untuk bersuara, namun realitas sering kali berkata lain. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Aliansi Merah Putih (Cipayung Plus) di perlimaan Telaga pada 1 September 2025 menjadi bukti bagaimana negara memperlakukan kritik sebagai ancaman. Aksi ini membawa sejumlah tuntutan yang menyentuh kepentingan publik: penolakan kenaikan tunjangan DPR, penolakan kenaikan pajak, desakan pengesahan UU Perampasan Aset, pencopotan Kapolri, pengusutan kematian driver ojol Affan Kurniawan, serta penghentian represifitas aparat terhadap massa aksi. Namun, alih-alih didengar, suara rakyat justru dijawab dengan intimidasi, kekerasan, gas air mata, dan penangkapan. Sebelas aktivis, termasuk satu kader PMII Cabang Kota Gorontalo, ditangkap dalam aksi tersebut. Peristiwa ini bukan sekadar insiden lokal, melainkan cermin retaknya demokrasi di Indonesia.
Aliansi Merah Putih bukan hadir tanpa sebab. Kenaikan tunjangan DPR di tengah situasi ekonomi yang sulit dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap keadilan sosial. Rakyat yang baru saja berjuang bangkit dari krisis pasca pandemi justru dibebani kenaikan pajak yang memukul usaha kecil, petani, dan nelayan. Selain itu, kematian Affan Kurniawan, seorang driver ojol yang dilindas dengan kendaraan taktis Brimob, menambah luka kolektif. RUU Perampasan Aset yang seharusnya menjadi senjata melawan korupsi mandek tanpa alasan yang jelas. Situasi ini membuat gerakan mahasiswa dan pemuda memilih jalan turun ke jalan, mengibarkan spanduk, dan menggaungkan suara rakyat.
H-2 sebelum aksi demonstrasi digelar, suasana di kalangan mahasiswa mulai memanas. Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Gorontalo menginisiasi konsolidasi internal bersama beberapa cabang di bawah naungan PKC PMII Gorontalo. Pertemuan itu bukan sekadar rapat biasa, melainkan forum strategis untuk merumuskan arah perlawanan. Di dalam pelataran Rektorat IAIN dengan semangat juangnya, mereka mendiskusikan kondisi bangsa yang semakin memprihatinkan, kenaikan tunjangan DPR, beban pajak rakyat, dan matinya komitmen pemerintah terhadap keadilan sosial. Dari konsolidasi ini lahirlah sejumlah poin-poin tuntutan yang tegas, yang nantinya akan dibawa sebagai rekomendasi resmi dalam konsolidasi lebih besar bersama aliansi Cipayung Plus.
H-1 sebelum aksi, langkah semakin konkret. Malam itu, konsolidasi lintas organisasi yang tergabung dalam Cipayung Plus dilaksanakan di pelataran Rektorat Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Pelataran yang biasanya menjadi ruang akademik malam itu berubah menjadi markas perjuangan, dipenuhi suara diskusi keras, gesekan ide, dan bara semangat yang tak padam. Namun, di tengah riuh strategi dan pematangan konsep aksi, hembusan kabar gelap mulai masuk ke telinga para pimpinan organisasi mahasiswa. Mereka menerima informasi yang mengusik ketenangan, "ada penyusup dalam konsolidasi tersebut, diduga berasal dari pihak kepolisian". Sosoknya tidak jelas, namun kehadirannya menandakan satu hal, aksi ini sudah dipantau, dan mereka siap melakukan penghadangan.
Selesai konsolidasi Cipayung, ketika massa mulai bubar, informasi semakin deras mengalir. Grup-grup WhatsApp organisasi dan individu mahasiswa mendadak ramai oleh pesan yang menggetarkan nyali. Pesan yang diklaim A1 alias akurat itu berisi peringatan: “Di aksi 1 September nanti, ada oknum-oknum preman bayaran yang dikirim oleh oknum kepolisian. Mereka akan menyusup ke tengah-tengah massa dan memicu kericuhan. Mereka akan memakai almamater kampus agar tidak dikenali. Hati-hati!”.
Berita itu menyebar cepat, seperti api yang membakar ilalang kering. Nada percakapan berubah tegang, seolah setiap kata yang dikirim adalah peringatan terakhir sebelum badai datang. Di satu sisi, rasa was-was menghantui, tetapi di sisi lain, keteguhan untuk turun ke jalan justru semakin mengeras. Mereka sadar, perlawanan ini bukan sekadar soal menolak kebijakan, tetapi soal mempertahankan hak rakyat untuk bersuara di tengah ancaman kekuasaan yang kian represif.
Keesokan harinya, media sosial mulai beredar foto dan video barisan aparat dengan tameng dan water cannon tersebar, memberi pesan bahwa negara siap mengerahkan kekuatan penuh. Namun, intimidasi tidak menyurutkan tekad. Aliansi Merah Putih percaya, diam bukan pilihan. Dalam logika perlawanan, seperti dikatakan Paulo Freire, “Keheningan rakyat adalah lahan subur bagi penindasan.”
Pukul 14.00 WITA, perlimaan Telaga berubah menjadi lautan manusia. Spanduk bertuliskan “Indonesua Darurat Demokrasi dan PMII Menggugat” terbentang. Dari atas mobil komando, suara orator menggelegar: “Kenaikan tunjangan DPR adalah pengkhianatan! Pajak yang kalian naikkan adalah jerat untuk memiskinkan rakyat! Di mana keadilan untuk Affan Kurniawan?!” Massa bergerak disiplin, menutup ruas jalan, mengibarkan bendera organisasi. Orasi-orasi terus bergema, menggaungkan enam tuntutan utama. Namun, sejak awal, tanda-tanda represif sudah tampak. Barisan polisi berdiri kaku, memblokade jalan, seolah menghadapi musuh negara, bukan anak-anak bangsa yang memperjuangkan keadilan.
Menjelang pukul 17.30, suasana di perlimaan Telaga semakin memanas. Tegangan yang sejak siang terpendam akhirnya memuncak. Para demonstran yang sudah menunggu berjam-jam mulai kehilangan kesabaran. Mereka merasa diabaikan. Gubernur, Kapolda, dan Ketua DPRD Provinsi Gorontalo yang dijanjikan akan menemui massa tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehadiran. Wajah-wajah mahasiswa yang awalnya penuh harapan kini berubah menjadi bara amarah.
Orasi-orasi yang semula menggema lantang berubah menjadi teriakan bernada marah: “Mana Gubernur?, Mana Ketua DPRD?, Jangan sembunyi di balik tembok kekuasaan!” Spanduk-spanduk dikibarkan lebih tinggi, dan suara toa bergetar, menyuarakan kekecewaan mendalam. Bagi mereka, ketidakhadiran para pemangku kebijakan adalah bentuk penghinaan terhadap suara rakyat.
Dalam situasi penuh frustrasi itu, massa aksi mulai mengumpulkan pembatas jalan, ban bekas, dan kayu-kayu yang berserakan. Beberapa orang memercikkan api, dan dalam hitungan detik, kobaran api menjilat langit sore. Asap hitam pekat membumbung tinggi, membelah angkasa Telaga yang muram. Api itu bukan sekadar nyala benda terbakar, melainkan simbol perlawanan, pesan keras bahwa kesabaran rakyat ada batasnya.
Di tengah kepulan asap, terdengar pekik lantang: “Kalau kalian tidak mau mendengar suara kami, biar api yang bicara” Jalanan berubah menjadi arena konfrontasi antara rakyat yang kecewa dan kekuasaan yang abai. Aroma bensin bercampur asap memenuhi udara, menambah sesak dada yang sejak lama tertahan oleh ketidakadilan.
Ketika azan magrib berkumandang, langit mulai meredup dengan semburat jingga yang berbaur dengan asap pembakaran ban dan pembatas jalan. Moderator aksi segera mematikan suara sound system sebagai bentuk penghormatan agar lantunan azan tidak terganggu dan dan masyarakat dapat menunaikan salat magrib dengan khusyuk. Sejenak, suasana yang tegang berubah menjadi hening.
Namun, ketenangan itu hanya sesaat. Begitu salat magrib usai dan jamaah mulai merapikan sajadah, situasi mendadak berubah. Moderator mencoba menyalakan kembali sound system untuk melanjutkan orasi, tetapi peralatan itu tidak berfungsi. Beberapa teknisi lapangan berlarian, mencoba memeriksa kabel dan genset, tetapi semuanya sia-sia. Dalam kebingungan itulah, tiba-tiba terdengar suara letupan keras disusul semburan asap putih yang memekakkan hidung dan membuat mata perih. Aparat keamanan mulai melepaskan tembakan gas air mata ke arah kerumunan.
Panik melanda. Barisan massa yang sebelumnya rapi kini tercerai-berai, berlarian ke segala arah mencari perlindungan. Jeritan dan teriakan memenuhi udara, “Awas gas air mata! Lari! Tutup hidung!” Beberapa orang terlihat meneteskan air mata bukan karena emosi, tetapi karena rasa perih yang menyiksa mata mereka. Udara yang semula hening berubah menjadi medan sesak napas, dipenuhi bau menyengat gas yang menusuk hingga ke paru-paru. Sejumlah demonstran jatuh tersungkur, sementara yang lain saling membantu, menuntun rekan-rekannya menjauh dari pusat tembakan. Di seputaran perlimaan, lampu jalan yang mulai menyala tampak samar oleh kabut gas air mata, menjadikan suasana kian mencekam, seolah kota ini berada dalam keadaan darurat yang menakutkan.
Namun bukannya berhenti, aparat justru melakukan pengejaran brutal. Pentungan menghantam punggung, borgol menjerat tangan. Sebelas orang ditangkap secara kasar, termasuk satu kader PMII Cabang Kota Gorontalo. Video yang beredar memperlihatkan mereka dipukul sebelum digiring ke mobil tahanan. Adegan ini bukan lagi potret pengamanan, melainkan pemaksaan. Kabar penangkapan menyebar di media sosial, memantik solidaritas sekaligus ketakutan. Tagar #Bebaskan11Aktivis menggema, tetapi dunia nyata tetap bisu di bawah cengkeraman kekuasaan.
Peristiwa ini menunjukkan wajah gelap demokrasi Indonesia. Hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998 telah dilanggar secara terang-terangan. Dalam perspektif Michel Foucault, kekuasaan bekerja melalui tubuh, menundukkan, mengontrol, dan mendisiplinkan. Gas air mata, pentungan, dan penangkapan adalah bentuk biopolitik untuk menaklukkan keberanian.
Antonio Gramsci melihat ini sebagai upaya mempertahankan hegemoni. Ketika persuasi gagal, negara mengerahkan aparatus koersif untuk melanggengkan status quo. Sementara Jurgen Habermas akan menyebut peristiwa ini sebagai matinya ruang publik. Aksi damai yang seharusnya menjadi forum deliberasi dihancurkan oleh represi. Negara tidak lagi berdialog dengan argumen, melainkan dengan senjata.
Tuntutan dan Makna Perlawanan
Aliansi Merah Putih menegaskan enam tuntutannya:
1. Tolak kenaikan tunjangan DPR.
2. Tolak kenaikan pajak yang membebani rakyat kecil.
3. Sahkan UU Perampasan Aset.
4. Copot Kapolri karena gagal menjaga profesionalitas.
5. Usut tuntas kematian Affan Kurniawan.
6. Hentikan represifitas aparat dan bebaskan seluruh aktivis.
Perjuangan ini bukan sekadar reaksi emosional, tetapi manifestasi kesadaran politik. Seperti kata sejarah, "di setiap represi, selalu lahir perlawanan". Gas air mata bisa membungkam suara, tetapi tidak memadamkan ide. Pentungan bisa melukai tubuh, tetapi tidak menghancurkan semangat.
Aksi 1 September 2025 akan tercatat sebagai saksi bahwa demokrasi di negeri ini sedang sakit. Negara menjawab kritik dengan kekerasan, bukan dialog. Namun satu hal pasti, keberanian tidak akan mati.
Gorontalo hari itu memberi pesan kepada Indonesia, “Kami tidak akan diam. Kami akan terus melawan, sampai keadilan berpihak kepada rakyat.” Peristiwa ini bukan akhir, tetapi awal babak baru perjuangan. Jika negara terus menutup telinga, maka jalanan akan kembali bergemuruh. Dan sejarah akan mencatat bahwa di Telaga, pernah ada anak-anak muda yang menolak tunduk pada tirani.
Ditulis oleh: Fauzan Mokoagow