GORONTALO, suaraindonesia1.com — Di saat gema semangat nasionalisme menggema dari Sabang sampai Merauke, Kabupaten Gorontalo justru tenggelam dalam diam. Tak ada upacara, tak ada penghormatan, bahkan tak ada secuil simbol yang mengingatkan pada makna Sumpah Pemuda — tonggak lahirnya kesadaran kebangsaan.
Wakil Koordinator BEM Nusantara Daerah Gorontalo, melalui pernyataan terbuka, menilai bahwa diamnya Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Gorontalo, khususnya PLT Kadisnya, merupakan bentuk kemunduran kesadaran sejarah dan kehilangan arah moral kebangsaan.
“Sumpah Pemuda bukan sekadar seremonial, tetapi perayaan ingatan kolektif bangsa. Ketika pemerintah daerah tidak memperingatinya, maka sejatinya mereka sedang meniadakan cermin sejarah yang membentuk eksistensi nasional,” ujar Wakil Koordinator BEM Nusantara Gorontalo dengan nada tegas namun berfilsafat.
Dalam bahasa filsuf Friedrich Nietzsche, “Orang yang tidak mampu mengingat masa lalunya terkutuk untuk mengulanginya.” Diamnya pemerintah daerah bukan sekadar abai — tetapi simbol dari krisis kesadaran kolektif dan etika kebangsaan.
Secara konseptual, ingatan kolektif adalah konstruksi sosial yang berfungsi menjaga kontinuitas nilai dan identitas bangsa. Menurut teori sosiologi Maurice Halbwachs, memori kolektif dibangun melalui ritual dan simbol sosial seperti peringatan nasional. Ketika institusi publik gagal menjaga ruang-ruang reflektif ini, maka terjadi degradasi makna kebangsaan yang berimplikasi pada melemahnya nasionalisme generasi muda.
Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, Pasal 2 huruf (a) yang menegaskan bahwa pembangunan kepemudaan harus berlandaskan pada semangat kebangsaan dan nilai-nilai perjuangan nasional. Lebih jauh, Pasal 26 ayat (1) menegaskan peran pemerintah daerah dalam memfasilitasi kegiatan kepemudaan yang mengembangkan potensi, partisipasi, dan rasa cinta tanah air.
“Ketika institusi yang bertanggung jawab atas pembinaan pemuda memilih diam di hari lahirnya semangat pemuda, maka diam itu bukan lagi kesalahan administratif, melainkan kematian nurani birokrasi,” tegas pernyataan tersebut.
Namun yang terjadi di Kabupaten Gorontalo adalah kebisuan institusional — seolah semangat pemuda tak lagi pantas mendapat ruang di tanahnya sendiri.
‘Kebisuan di hadapan nilai adalah bentuk kejahatan intelektual.’ Maka ketika dinas yang mengurus pemuda memilih diam di hari kelahiran semangat pemuda, itu bukan hanya kelalaian birokrasi — melainkan pengkhianatan terhadap makna sejarah,” tegas BEM Nusantara Gorontalo.
BEM Nusantara Gorontalo secara terbuka mendesak Bupati Kabupaten Gorontalo untuk mencopot dan menonaktifkan Nawir Tondako dari jabatannya sebagai PLT Kepala dinas Disporapar sekaligus Asisten I pemerintah Kabupaten Gorontalo.
Menurut mereka, seorang pejabat publik yang kehilangan kepekaan terhadap nilai nasionalisme tidak layak memimpin institusi yang menjadi garda depan pembinaan generasi muda.
“Kami tidak menuntut simbol seremonial, kami menuntut kesadaran moral dan tanggung jawab sejarah. Karena pejabat publik bukan hanya pengelola administrasi, tapi penjaga ingatan bangsa,” pungkasnya.
Reporter: JO


