GORONTALO, suaraindonesia1.com - Indonesia kembali menggulirkan kebijakan ambisius di sektor energi dengan mendorong penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM). Langkah ini diklaim sebagai bagian dari agenda transisi energi hijau nasional, sekaligus upaya mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak mentah. Namun, di balik narasi besar tentang keberlanjutan dan kemandirian energi, kebijakan ini menyisakan banyak tanda tanya dan potensi gejolak sosial yang tak bisa diabaikan.
Etanol yang diproduksi dari tebu dan singkong memang menawarkan alternatif ramah lingkungan. Akan tetapi, peningkatan kebutuhan bahan baku untuk industri etanol berpotensi menggeser orientasi produksi pertanian dari pangan ke energi. Akibatnya, harga bahan pokok seperti singkong dan gula bisa melonjak, menekan daya beli masyarakat kecil, serta mengancam ketahanan pangan nasional.
Menurut Rifaldi Puluhulawa, mahasiswa Universitas Ichsan Gorontalo sekaligus Menteri Sosial Politik Demokrasi, kebijakan energi ini harus dilihat secara holistik, bukan sekadar dari sisi teknologi dan lingkungan.
“Kita tentu mendukung arah pemerintah menuju energi hijau, tetapi jangan sampai kebijakan etanol justru menimbulkan ketimpangan baru. Petani kecil bisa tersingkir jika lahan pertanian mereka dikonversi besar-besaran untuk kepentingan industri energi,” tegas Rifaldi.
Ia menyoroti bahwa tanpa regulasi yang berpihak, kebijakan etanol dapat memperkuat dominasi korporasi besar, sementara petani lokal hanya menjadi penyedia bahan mentah dengan keuntungan minimal. Selain itu, potensi konflik agraria bisa meningkat seiring maraknya alih fungsi lahan dari tanaman pangan ke tanaman energi.
Lebih jauh, Rifaldi menilai bahwa arah kebijakan energi nasional harus disertai mekanisme perlindungan sosial yang konkret, termasuk jaminan harga minimum bagi petani, pembatasan ekspansi lahan industri energi, serta transparansi dalam rantai distribusi bahan baku etanol.
“Dalam konteks demokrasi ekonomi, rakyat harus menjadi subjek utama pembangunan energi, bukan sekadar objek kebijakan yang dikorbankan atas nama efisiensi dan modernisasi,” tambahnya.
Dampak kebijakan ini juga berpotensi merembet ke sektor sosial dan politik. Kenaikan harga pangan bisa memperlemah stabilitas ekonomi masyarakat bawah, meningkatkan ketimpangan sosial, dan pada akhirnya menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Jika tidak dikelola secara bijak, transisi energi hijau justru dapat menciptakan “kolonialisme baru” di sektor energi—di mana keuntungan ekonomi terkonsentrasi pada segelintir pelaku besar, sementara rakyat kecil menanggung beban sosial dan ekologisnya.
Meski demikian, Rifaldi menilai kebijakan etanol masih memiliki peluang besar menjadi terobosan nasional jika dijalankan dengan pendekatan keadilan sosial, partisipasi masyarakat, dan tata kelola yang transparan.
Sebagai bagian dari civitas akademika, Rifaldi menyerukan kepada mahasiswa dan generasi muda Indonesia untuk tidak pasif terhadap isu energi.
“Energi bersih bukan hanya soal teknologi, tapi soal keadilan sosial dan keberpihakan terhadap rakyat. Mahasiswa harus menjadi pengawal kritis agar transisi energi benar-benar berpihak pada masa depan bangsa, bukan sekadar proyek ekonomi sesaat,” tutupnya.
Analisis Dampak Kebijakan Etanol terhadap Masyarakat Indonesia:
Dampak Ekonomi:
- Potensi kenaikan harga pangan akibat konversi lahan dari tanaman pangan ke bahan baku etanol.
- Ketimpangan ekonomi meningkat karena dominasi industri besar dalam rantai pasok energi hijau.
- Risiko penurunan pendapatan petani kecil jika harga bahan baku dikendalikan oleh korporasi.
Dampak Sosial:
- Alih fungsi lahan berpotensi menggeser masyarakat pedesaan dari ruang hidupnya.
- Kesenjangan sosial dan urbanisasi paksa dapat meningkat akibat menurunnya lahan produktif.
- Konflik horizontal di desa terkait distribusi manfaat kebijakan energi hijau.
Dampak Politik dan Tata Kelola:
- Potensi politisasi proyek energi hijau sebagai alat legitimasi kebijakan pemerintah.
- Risiko melemahnya kepercayaan publik jika kebijakan dianggap hanya menguntungkan elit.
- Perlunya transparansi dan partisipasi publik dalam setiap tahap implementasi kebijakan energi berbasis etanol.
Solusi dan Rekomendasi Kebijakan
Rifaldi menegaskan bahwa kebijakan energi berbasis etanol dapat berjalan efektif dan adil apabila disertai dengan perencanaan sosial-ekonomi yang matang serta regulasi yang berpihak pada rakyat kecil. Beberapa langkah solusi yang dapat ditempuh antara lain:
1. Perlindungan terhadap Petani Kecil
Pemerintah perlu menjamin harga dasar bahan baku etanol (tebu dan singkong) agar petani tidak menjadi korban fluktuasi pasar. Sistem subsidi langsung dan kontrak kemitraan berkeadilan harus diterapkan antara industri dan petani.
2. Regulasi Pengendalian Lahan dan Ketahanan Pangan
Diperlukan pembatasan ketat terhadap alih fungsi lahan pangan agar produksi pangan nasional tidak terganggu. Pemerintah harus menetapkan kuota nasional bahan baku etanol tanpa mengorbankan kebutuhan konsumsi masyarakat.
3. Diversifikasi Sumber Etanol
Selain dari tebu dan singkong, pengembangan etanol berbasis limbah biomassa, jagung busuk, dan sampah organik dapat mengurangi tekanan terhadap sektor pangan dan membuka peluang industri hijau baru.
4. Keterlibatan Komunitas Lokal dan Akademisi
Pemerintah harus melibatkan kampus, lembaga riset, dan masyarakat sipil dalam proses perencanaan dan evaluasi kebijakan energi. Pendekatan partisipatif akan memperkuat legitimasi dan mencegah penyimpangan kebijakan di lapangan.
5. Transparansi dan Akuntabilitas Industri Energi
Diperlukan sistem audit publik dan keterbukaan data terkait produksi, impor, dan penggunaan etanol agar masyarakat dapat mengawasi jalannya kebijakan secara demokratis.
Kebijakan etanol merupakan langkah strategis menuju kemandirian energi nasional dan pengurangan emisi karbon, namun implementasinya tidak boleh menegasikan aspek keadilan sosial. Energi hijau sejatinya bukan hanya soal teknologi ramah lingkungan, melainkan juga soal keberpihakan terhadap rakyat kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Rifaldi Puluhulawa menegaskan bahwa transisi energi hijau harus berjalan seiring dengan transisi sosial yang adil. Tanpa perlindungan terhadap petani dan masyarakat kecil, kebijakan etanol hanya akan menjadi panggung industrialisasi tanpa kesejahteraan.
“Masa depan energi Indonesia harus dibangun di atas prinsip keadilan, partisipasi rakyat, dan tanggung jawab sosial. Mahasiswa dan generasi muda memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal agar kebijakan energi hijau benar-benar menjadi milik rakyat, bukan milik segelintir elit,” tutup Rifaldi.
Reporter: JO


