GORONTALO, suaraindonesia1.com - Kasus meninggalnya salah seorang peserta pendidikan dasar (diksar) Mapala di Gorontalo kembali mengguncang publik. Peristiwa tragis ini bukan sekadar insiden biasa, melainkan telah menimbulkan luka mendalam sekaligus pertanyaan besar tentang tanggung jawab hukum, moral, dan kelembagaan.
Meninggalnya peserta diksar tersebut patut dipandang sebagai perbuatan melawan hukum, apalagi berdasarkan informasi yang beredar, kuat dugaan korban meninggal akibat penganiayaan yang terjadi di lokasi kegiatan. Dengan adanya korban jiwa, publik secara wajar menuntut agar kasus ini diproses secara hukum secara adil, transparan, dan menyeluruh. Tidak boleh ada pembiaran atau upaya untuk menutupi fakta di balik tragedi ini.
Desakan keras datang dari berbagai kalangan, termasuk aktivis mahasiswa dan masyarakat sipil. Mereka menuntut agar pihak kepolisian segera bertindak tegas, serta meminta Universitas Negeri Gorontalo (UNG) turut mengawal proses hukum. Namun, dalam konteks ini, perlu ditegaskan bahwa yang paling bertanggung jawab secara langsung adalah panitia pelaksana dan pengurus Mapala yang menyelenggarakan kegiatan.
Hal ini penting disorot karena berdasarkan penelusuran, kegiatan diksar tersebut dilaksanakan tanpa izin resmi dari fakultas maupun birokrasi kampus. Bahkan, ditemukan adanya dugaan serius terkait pemalsuan tanda tangan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Ilmu Sosial, yang kemudian digunakan untuk meyakinkan pihak desa maupun pihak lain seolah-olah kegiatan tersebut sudah mendapatkan restu kampus.
Aktivis Provinsi Gorontalo, Rahman Patingki, selaku Ketua Umum Forum Kaum Pembela Rakyat Wilayah Provinsi Gorontalo, menegaskan bahwa publik jangan terjebak pada isu yang menyudutkan fakultas atau kampus sebagai pihak yang harus bertanggung jawab penuh. Sebab, jika kegiatan tersebut ilegal sejak awal, maka yang seharusnya diproses adalah panitia dan pengurus Mapala yang telah bertindak di luar aturan. Bahkan, Rahman menilai pihak fakultas melalui Wakil Dekan justru berhak melaporkan kasus pemalsuan tanda tangan yang digunakan secara melawan hukum untuk melancarkan kegiatan ini.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan di Gorontalo. Peristiwa tragis ini mengajarkan kita bahwa segala bentuk kegiatan mahasiswa harus dilaksanakan secara prosedural, transparan, dan legal. Manipulasi dokumen, penyalahgunaan nama kampus, hingga tindakan kekerasan dalam proses kaderisasi tidak bisa lagi ditolerir.
Kematian seorang peserta diksar bukan hanya kehilangan bagi keluarga, tetapi juga tamparan keras bagi dunia pendidikan. Karena itu, proses hukum yang adil, transparan, dan tuntas harus menjadi prioritas, agar kasus ini tidak sekadar heboh sesaat, lalu menghilang tanpa penyelesaian yang jelas. (Rep/JO)



