BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

Teror Terhadap BEM UIGU, Luka Demokrasi di Gorontalo, Alarm Bagi Gerakan Aksi Besar-Besaran Mahasiswa di Gorontalo Utara

Tunggu Gerakan Kami di Gedung DPRD Gorontalo Utara

GORONTALO, suaraindonesia1.com, Sejarah panjang gerakan mahasiswa di Indonesia selalu ditulis dengan tinta keberanian.Dari 1966, 1974, 1998 hingga hari ini, mahasiswa selalu menjadi garda moral bangsa suara yang lahir dari keberanian intelektual, dibentuk oleh semangat kerakyatan, dan diarahkan untuk membela kepentingan publik. Namun kini, semangat itu kembali diuji di tanah Gorontalo.


Teror terhadap mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Ichsan Gorontalo Utara (UIGU) pasca aksi advokasi di Gedung DPRD Gorontalo Utara menjadi sinyal keras bahwa demokrasi di tingkat daerah sedang mengalami kemunduran serius.


Menurut Erlin Adam, Presiden BEM Universitas Gorontalo, peristiwa tersebut bukan sekadar insiden individual, melainkan indikasi bangkitnya kembali pola kekuasaan represif yang selama ini coba dikubur pasca Reformasi.


“Ketika mahasiswa diserang hanya karena menyuarakan keresahan rakyat, itu berarti kekuasaan sedang takut pada kebenaran. Teror terhadap BEM UIGU adalah teror terhadap demokrasi,” tegas Erlin Adam, Kamis (16/10/2025).


Secara historis, relasi antara mahasiswa dan kekuasaan selalu berhadapan secara dialektis. Dalam tradisi pemikiran kiri seperti Antonio Gramsci dan Paulo Freire mahasiswa dipandang sebagai “intelektual organik” yang mengartikulasikan kesadaran rakyat tertindas terhadap struktur kekuasaan hegemonik.


Setiap kali suara kritis muncul dari kampus, kekuasaan yang tidak demokratis cenderung merespons dengan represi, stigmatisasi, atau teror. Fenomena di UIGU ini adalah kelanjutan dari pola lama di mana kritik dianggap ancaman, bukan bagian dari koreksi sosial.


Dalam kerangka politik hukum, tindakan teror terhadap mahasiswa juga bertentangan dengan prinsip negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum menempatkan hukum sebagai pelindung warga negara termasuk hak berekspresi dan berpendapat secara damai sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.


“Ketika negara atau aparat membiarkan intimidasi terhadap mahasiswa, maka hukum kehilangan fungsi protektifnya dan berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan,” ujar Erlin.


Yang lebih ironis, peristiwa ini terjadi di lingkungan DPRD Gorontalo Utara institusi yang seharusnya menjadi ruang aspirasi rakyat. Ketika lembaga representatif berubah menjadi arena ketakutan, maka substansi demokrasi lokal telah runtuh.


Fenomena “alergi terhadap kritik” ini menunjukkan bahwa kekuasaan daerah belum matang secara demokratis. Dalam analisis politik kritis, ini bisa disebut sebagai bentuk “otoritarianisme lokal” di mana elit politik daerah mereproduksi gaya kekuasaan feodal dan memonopoli kebenaran dengan mengendalikan ruang publik.


“DPRD mestinya menjadi rumah rakyat, bukan benteng kepentingan segelintir orang. Jika kritik dibalas dengan teror, maka kekuasaan itu kehilangan legitimasinya secara moral dan politik,” lanjut Erlin Adam.


Sejarah juga mencatat bahwa gerakan mahasiswa selalu menjadi penjaga akal sehat bangsa. Dalam terminologi ilmiah politik, mahasiswa berfungsi sebagai “agent of social control” penyeimbang antara kekuasaan negara dan kepentingan rakyat.

Ketika fungsi ini diserang,maka yang terancam bukan hanya mahasiswa, tetapi seluruh sistem demokrasi itu sendiri.


BEM Provinsi Gorontalo pun menegaskan sikap solidaritas mereka.


“Kami dari BEM Provinsi Gorontalo menolak normalisasi kekerasan terhadap aktivisme mahasiswa. Kami berdiri bersama BEM UIGU dan semua elemen yang membela kepentingan publik,” bunyi pernyataan resmi mereka.


Peristiwa UIGU adalah luka demokrasi, tetapi juga momentum kebangkitan kesadaran kolektif. Luka ini harus menjadi pengingat bahwa perjuangan mahasiswa tidak pernah tentang kepentingan personal, tetapi tentang mempertahankan hak rakyat untuk bersuara tanpa rasa takut.


Sejarah selalu berpihak pada mereka yang bersuara, bukan pada mereka yang membungkam. Jika kekuasaan menggunakan ketakutan sebagai alat, maka mahasiswa akan menjawabnya dengan keberanian intelektual.


Teror terhadap BEM UIGU bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan babak baru dalam sejarah panjang gerakan mahasiswa di Gorontalo. Sebab dalam setiap represi, selalu lahir perlawanan. Dan dari setiap luka, selalu tumbuh kesadaran baru bahwa demokrasi hanya hidup ketika rakyat dan mahasiswanya tidak bungkam.

« PREV
NEXT »