GORONTALO, suaraindonesia1.com — Di negeri yang dikenal sebagai Serambi Madinah, ternyata kita masih dihadapkan pada ironi besar: Dinas Pariwisata Provinsi Gorontalo (Disparprov) yang seharusnya menjadi garda depan memajukan bakat dan potensi daerah, justru memperlihatkan wajah ketidakprofesionalan dan minim kreativitas dalam memberikan solusi kepada masyarakat—lebih khusus kepada mahasiswa dan para duta daerah yang membawa nama Gorontalo di tingkat nasional.
Sudah empat bulan lamanya komunikasi dibangun, proposal disampaikan, data dilengkapi, niat baik ditunjukkan. Tetapi apa balasan dari OPD yang seharusnya berfungsi sebagai rumah pelayanan publik?
Yang datang bukan dukungan,bukan penyelesaian, bukan inovasi. Yang datang hanya jawaban-jawaban tidak masuk akal, alasan klise, bahkan keputusan yang mencerminkan ketidakmampuan mereka berpikir kreatif untuk membuka jalan bagi putri-putri terbaik Gorontalo yang sedang berkompetisi di panggung nasional.
Padahal, Gorontalo baru saja kembali menunjukkan eksistensinya: gelar Finalis Duta Miss Hijab Indonesia telah diraih, dan kini satu lagi peluang besar mengetuk pintu—Putri Muslimah Nusantara yang akan berlangsung dalam waktu dekat di Samarinda, Kalimantan Timur. Dua momentum beruntun ini merupakan kesempatan emas memperkuat branding Gorontalo sebagai daerah religius, daerah budaya, dan daerah yang kaya talenta.
Namun apa yang dilakukan Dispar?
Bukannya mempermudah, mereka justru menghambat.
Bukannya hadir sebagai penyelesai masalah, mereka justru menjadi pelengkap beban birokrasi.
Padahal, di banyak daerah lain, dinas pariwisata berlomba-lomba mendukung anak muda berprestasi untuk mengharumkan nama daerah. Bahkan ada yang menyediakan pendampingan, pelatihan, hingga dana fasilitasi. Tetapi di Gorontalo? Justru masyarakat dan mahasiswa yang harus terus mendesak, memohon, bahkan menunggu jawaban yang tidak kunjung pasti.
Maka wajar apabila dalam waktu dekat ini akan ada aksi terbuka untuk menunjukkan bahwa publik sudah muak dengan pola kerja seperti ini. Birokrasi tidak boleh menjadi menara gading. Birokrasi harus responsif. Birokrasi harus kreatif. Dan yang paling penting—birokrasi harus melayani!
Gorontalo dikenal sebagai Serambi Madinah, tetapi pelayanan publiknya justru jauh dari nilai-nilai kemuliaan, kepedulian, dan amanah yang seharusnya dijunjung tinggi. Ketika bakat-bakat terbaik daerah tidak mendapat ruang, maka yang tercoreng bukan hanya nama para dutanya, tetapi nama pemerintah itu sendiri.
Kami tegaskan sekali lagi:
Ini bukan soal bantuan dana. Ini soal komitmen moral dan kehadiran negara.
Ketika OPD tak mampu menjawab,itu bukan hanya tanda ketidakprofesionalan—itu tanda bahwa rakyat telah ditinggalkan.
Dan bila hal seperti ini terus berulang, maka kritik harus dilanjutkan dengan tindakan.
Karena diam bukan pilihan, dan tunduk bukan budaya Gorontalo.
Reporter: JO



