BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

Video Mesra Anggota DPRD Gorut Dan Kota Gorontalo Guncang Publik: BEM Hukum UG Akan Menggelar Aksi Demonstrasi



GORONTALO - SuaraIndonesia1.com, Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Gorontalo Utara, Dheninda Chaerunisa, bersama Anggota DPRD Kota Gorontalo, Alwi Kusuma Lapananda, menjadi sorotan setelah video keduanya yang bermesraan di dalam mobil beredar luas di media sosial.


Video berdurasi 17 detik itu bukan hanya menimbulkan kegaduhan, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Masyarakat menilai, tindakan tersebut tidak pantas dilakukan oleh pejabat publik, karena menunjukkan rendahnya moralitas dan hilangnya rasa tanggung jawab etik terhadap jabatan.


Menurut Riki Apriyanto Daud, Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Gorontalo, pejabat publik wajib menjaga integritas moral sebagai bagian dari asas kepatutan dalam hukum administrasi negara.


“Jabatan publik itu bukan hak pribadi, tapi amanah rakyat. Pejabat harus tunduk pada Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) terutama asas kepatutan, keteladanan, dan tanggung jawab moral. Ketika pejabat memperlihatkan perilaku tidak senonoh, maka itu bukan sekadar pelanggaran etik, tapi bentuk penyalahgunaan otoritas moral,” tegas Riki. 


UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta Peraturan DPRD tentang Kode Etik Anggota DPRD. Pasal 3 UU 28/1999 menegaskan bahwa setiap penyelenggara negara wajib menaati norma moral, etika, dan nilai-nilai agama. Dengan demikian, tindakan asusila yang dilakukan oleh pejabat di ruang publik adalah pelanggaran langsung terhadap asas moralitas jabatan.


Dalam pandangan adat Gorontalo, jabatan pemimpin (Tauwa/Olongia) bukan hanya sekadar posisi kekuasaan, melainkan tanggung jawab moral dan spiritual. “Adati hula-hula’a to syaraa, syaraa hula-hula’a to Kitabullah” (Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah).


Artinya, perilaku seorang pemimpin harus mencerminkan nilai agama dan adat yang hidup di tengah masyarakat. Pemimpin yang berperilaku menyimpang disebut Puulo (pemimpin berlumur dosa), dan jika pelanggarannya berat akan disebut Biito simbol kehancuran moral dan sosial.


Ungkapan leluhur Gorontalo mengatakan “Ta kewu-kewungo debo odungga lo punungo” artinya pemimpin yang bengkok dari nilai akan berakhir binasa.


Bagi masyarakat Gorontalo, moral pemimpin adalah simbol marwah daerah. Ketika seorang pejabat mempermalukan dirinya, maka yang tercoreng bukan hanya dirinya, tetapi juga lembaga dan identitas sosial Gorontalo.


Fenomena ini menggambarkan patologi kekuasaan, yaitu penyimpangan moral yang lahir ketika pejabat kehilangan tanggung jawab etis terhadap jabatan. Menurut teori Ethics of Responsibility dari Max Weber, kekuasaan tanpa moral hanya akan melahirkan kesewenang-wenangan dan tindakan tidak beradab.


“Ketika kekuasaan dipakai untuk memuaskan ego pribadi, maka kepercayaan publik hancur. Ini bukan sekadar aib pribadi, tetapi krisis legitimasi moral dalam sistem politik daerah,” jelas Riki.


Secara sosiologis, tindakan seperti ini juga dapat mengikis moral masyarakat, karena publik kehilangan teladan dan kepercayaan terhadap institusi demokrasi.


BEM Fakultas Hukum Universitas Gorontalo menilai bahwa klarifikasi dan permintaan maaf di media tidak cukup untuk memulihkan kepercayaan publik. Lembaga-lembaga yang berwenang harus bertindak tegas, terbuka, dan berkeadilan.


1. Badan Kehormatan (BK) DPRD Kota Gorontalo dan BK DPRD Kabupaten Gorontalo Utara segera memproses kasus ini melalui sidang etik.

2. Partai pengusung, yaitu Partai NasDem dan PPP, wajib memberikan sanksi tegas terhadap kedua kadernya karena telah mencoreng citra partai dan lembaga publik.

3. Penegakan nilai moral pejabat publik harus dikembalikan sebagai bagian dari budaya politik daerah yang beradab.


BEM Fakultas Hukum Universitas Gorontalo akan menggelar aksi demonstrasi di setiap kantor partai politik pengusung kedua pejabat tersebut.


Aksi ini dilakukan untuk menuntut penegakan etika, memulihkan integritas lembaga publik, dan menegaskan bahwa masyarakat terutama mahasiswa tidak akan diam terhadap penyimpangan moral pejabat.


“Kami menolak normalisasi perilaku amoral pejabat publik. Ini bukan isu pribadi, tapi soal kehormatan lembaga, hukum, dan adat Gorontalo,” tegas Riki.


Krisis moral pejabat publik ini menunjukkan bahwa kepemimpinan tanpa integritas hanya akan melahirkan kehancuran nilai dan kepercayaan. Dalam hukum, tindakan ini melanggar asas kepatutan. dalam adat, mencederai falsafah “Adat bersendikan Kitabullah”


Dan dalam pandangan filsafat politik, mencerminkan pemimpin yang kehilangan tanggung jawab etis. Gorontalo tidak kekurangan orang cerdas, tetapi sangat membutuhkan pemimpin yang beradat, beragama, dan berakhlak, Sebagaimana pesan leluhur. 


“Jangan sekali-kali memperturutkan hawa nafsu, sebab di situlah awal kehancuran seorang pemimpin.” pungkasnya.

« PREV
NEXT »