BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

Almisbah Apresiasi Kapolda: Menuju Ujian PETI Berikutnya


GORONTALO, suaraindonesia1.com
— Persoalan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Provinsi Gorontalo merupakan problem struktural yang telah berlangsung lama dan berdampak serius terhadap lingkungan hidup, ketertiban sosial, serta wibawa hukum. Dalam konteks tersebut, penangkapan salah satu pelaku PETI berinisial YMB pada November 2025 dan penetapannya sebagai tersangka patut dipandang sebagai sinyal positif atas komitmen awal Kapolda Gorontalo dalam menegakkan hukum di sektor pertambangan.


Langkah ini patut dipandang sebagai kemajuan penting dalam upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan berwibawa, sekaligus sebagai harapan baru bagi masyarakat yang selama ini terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan tanpa izin. Ketegasan aparat penegak hukum dalam kasus ini menunjukkan komitmen nyata untuk menjaga kelestarian lingkungan dan menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu.


Secara normatif, langkah ini sejalan dengan prinsip supremasi hukum (rule of law) yang menempatkan hukum sebagai instrumen utama dalam mengatur relasi negara dengan sumber daya alam. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. PETI, dengan demikian, bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk pengingkaran terhadap mandat konstitusional tersebut.


Apresiasi terhadap tindakan penegakan hukum ini menjadi penting karena selama bertahun-tahun PETI kerap dipersepsikan sebagai kejahatan yang “kebal hukum”. Dampak ekologis berupa kerusakan daerah aliran sungai, pencemaran merkuri, serta konflik sosial di sekitar wilayah tambang telah menjadi realitas yang dialami langsung oleh masyarakat. Oleh karena itu, penindakan terhadap satu pelaku memberikan harapan awal bahwa negara mulai hadir untuk melindungi kepentingan publik.


Namun secara sosiologis dan kriminologis, PETI tidak dapat dipahami sebagai kejahatan individual. Praktik pertambangan ilegal umumnya beroperasi dalam jaringan yang sistemik, melibatkan pelaku lapangan, pemodal, penyedia alat berat, penadah hasil tambang, hingga aktor-aktor yang berperan sebagai pelindung atau melakukan pembiaran. Jika penegakan hukum hanya berhenti pada pelaku di lapangan, maka yang terjadi bukan penyelesaian masalah, melainkan reproduksi kejahatan dalam bentuk yang sama.


Namun demikian, apresiasi ini tidak boleh membungkam kritik. Penindakan terhadap satu pelaku tidak serta-merta menyelesaikan persoalan PETI yang telah mengakar dan terorganisir di Provinsi Gorontalo. Publik memahami bahwa praktik PETI bukanlah kerja individu semata, melainkan melibatkan jaringan yang kompleks, mulai dari pelaku lapangan, pemodal, hingga pihak-pihak yang diduga menjadi pelindung atau pembiar selama aktivitas ilegal itu berlangsung.


Dalam perspektif keadilan substantif, penegakan hukum menuntut keberanian untuk menelusuri seluruh rantai kejahatan tanpa tebang pilih. Ketika PETI masih terus beroperasi di berbagai wilayah dengan intensitas yang relatif sama, publik memiliki dasar rasional untuk mempertanyakan efektivitas pengawasan dan integritas aparat di tingkat bawah. Dugaan pembiaran sistematis atau lemahnya kontrol internal bukanlah tuduhan emosional, melainkan konsekuensi logis dari realitas empiris yang terlihat di lapangan.


Di sinilah ujian sesungguhnya bagi Kapolda Gorontalo dimulai. Kepemimpinan penegakan hukum tidak cukup diukur dari keberhasilan operasi sesaat atau pernyataan normatif di ruang publik. Kepemimpinan diuji melalui konsistensi kebijakan, transparansi proses hukum, serta keberanian mengevaluasi dan menindak aparat internal yang terbukti lalai atau menyalahgunakan kewenangan. Tanpa langkah-langkah tersebut, penegakan hukum berisiko terjebak pada simbolisme kekuasaan, bukan transformasi sistemik.


Reporter: Jhul-Ohi

« PREV
NEXT »