JAKARTA, suaraindonesia1.com, OPINI — Akhir November 2025, Sumatra dihantam banjir dan longsor mematikan. Pemicu utamanya adalah hujan ekstrem dari siklon tropis bahkan riset dan liputan internasional menilai intensitasnya juga dipengaruhi pemanasan global.
Tapi di lapangan, muncul pelajaran penting: banyak ahli dan kelompok lingkungan menilai kerusakan daerah aliran sungai akibat deforestasi dan ekstraksi sumber daya memperparah dampak banjir. Dalam sejumlah wilayah, konversi hutan menjadi Perkebunan termasuk sawit dan tanaman industri lain ikut disebut sebagai bagian dari perubahan lanskap itu.
Kenapa membahas Sumatra saat bicara Papua? Karena kalau Papua ingin mengambil manfaat ekonomi dan energi dari sawit, maka “cara Sumatra” yakni ekspansi tanpa pagar ekologis tidak boleh terulang. Yang kita butuhkan adalah sawit yang terkendali, legal, dan berkelanjutan.
Dalam pengarahan presiden kepada kepala daerah se-Papua di Istana Negara pada 16 Desember 2025, Presiden Prabowo menyampaikan dorongan agar Papua menanam kelapa sawit untuk menghasilkan BBM, serta tebu dan singkong untuk etanol. Ia juga menekankan kombinasi energi surya dan tenaga air khususnya untuk daerah terpencil agar biaya kirim BBM bisa ditekan.
Argumennya sederhana: kalau energi bisa diproduksi lebih dekat ke titik konsumsi, biaya logistik turun, ketahanan energi naik, dan aktivitas ekonomi daerah bisa bergerak lebih stabil. Dalam forum itu, Prabowo menyinggung beban impor BBM yang besar dan potensi penghematan bila produksi dalam negeri meningkat.
Dan di sinilah Pasal 33 UUD 1945 jadi kompas. Pasal ini menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama, cabang produksi yang penting bagi negara dikuasai negara, dan bumi, air, serta kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Artinya, kalau sawit dikembangkan di Papua, orientasinya harus jelas: kemakmuran rakyat Papua, bukan sekadar angka produksi. Dan cara mencapainya harus sejalan dengan semangat demokrasi ekonomi termasuk keberlanjutan dan wawasan lingkungan.
Bagi Papua, peluang tambahannya ada di hilirisasi: dari kebun, pabrik, sampai rantai pasok lokal asal manfaatnya benar-benar kembali ke warga.
Namun, kita juga harus jujur: sawit bukan komoditas netral. Riset dan laporan lapangan menunjukkan bahwa pembukaan lahan sawit terutama bila menggantikan hutan atau merusak tata air dapat meningkatkan limpasan, memperburuk kualitas air, dan menaikkan risiko banjir di wilayah hilir.
Dan itulah mengapa pelajaran Sumatra penting: bencana dipicu hujan ekstrem, tetapi skala dampaknya bisa membesar ketika lanskap sudah rapuh.
Kalau sawit dikembangkan di Papua, dukungan kami tegas asal lima pagar ini dijalankan:
1. Tanpa deforestasi: prioritaskan lahan terdegradasi, bukan hutan alam. berarti pembukaan kebun harus diarahkan ke lahan terdegradasi atau lahan yang sudah terbuka dan secara legal memang boleh dimanfaatkan, bukan mengubah hutan alam (primer maupun sekunder yang masih berfungsi). Ini menuntut pemetaan tutupan lahan sejak awal, pembuktian bahwa lokasi bukan hutan bernilai konservasi/karbon tinggi, serta komitmen “no conversion” yang bisa dipantau lewat data satelit dan audit lapangan. Intinya, sawit boleh jadi solusi ekonomi-energi, tetapi tidak boleh dibayar dengan hilangnya hutan Papua.
2. Lindungi DAS: sempadan sungai, area rawan longsor, dan koridor satwa wajib steril dari ekspansi. berarti desain kebun harus tunduk pada logika tata air: sempadan sungai wajib jadi zona hijau permanen, area rawan longsor tidak dibuka, serta pembangunan jalan dan drainase tidak boleh merusak kontur dan mengirim sedimen ke sungai. Perlindungan ini juga mencakup koridor satwa agar habitat tidak terfragmentasi dan konflik manusia-satwa tidak meningkat. Dengan pendekatan ini, kebun tidak hanya mengejar produksi, tetapi menjaga fungsi lanskap yang menentukan keselamatan warga di hilir banjir, erosi, dan kualitas air.
3. Persetujuan masyarakat adat (FPIC): bukan formalitas, tapi proses yang bisa diuji publik. harus dipahami sebagai proses yang sungguh-sungguh: masyarakat menerima informasi lengkap, diberi waktu bermusyawarah tanpa tekanan, dan memiliki hak untuk menyetujui, menolak, atau menyetujui dengan syarat yang dinegosiasikan. FPIC yang benar mensyaratkan pemetaan wilayah adat dan struktur keputusan komunitas, transparansi rencana (luas, dampak, manfaat, risiko), serta dokumentasi yang bisa diuji public bukan sekadar tanda tangan. Mekanisme pengaduan juga harus ada dan berfungsi, sehingga jika muncul masalah, warga punya jalur penyelesaian yang jelas.
4. Standar & audit: patuhi ISPO dan pengawasan independen; transparansi peta izin dan kepemilikan. berarti kepatuhan ISPO dan legalitas tidak berhenti di dokumen, tetapi diterapkan dan diperiksa secara berkala oleh pengawasan yang kredibel. Transparansi peta izin, batas konsesi, dan kepemilikan penting agar publik bisa memverifikasi dan mencegah area “abu-abu”. Selain itu, ketertelusuran rantai pasok perlu dijaga supaya buah dari sumber bermasalah tidak bercampur dan lolos. Poin ini juga harus punya konsekuensi: jika melanggar pagar ekologis atau sosial, ada sanksi tegas penghentian operasi, pemulihan, hingga pencabutan izin bila perlu.
5. Manfaat nyata ke warga Papua: skema kebun rakyat/plasma yang jelas, upah layak, pelatihan, dan bagi hasil yang adil. menuntut model bisnis yang inklusif: skema kebun rakyat/plasma atau kemitraan harus jelas, adil, dan tidak menjerat utang atau biaya tersembunyi. Upah layak, keselamatan kerja, prioritas tenaga kerja lokal, dan pelatihan berjenjang harus menjadi standar agar orang Papua tidak berhenti pada pekerjaan kasar, tetapi bisa naik ke posisi teknis dan manajerial. Yang tak kalah penting, nilai tambah harus kembali ke daerah—melalui rantai pasok lokal, layanan pendukung, dan bila memungkinkan pengolahan—seraya memastikan proyek tidak mengorbankan sumber pangan dan mata pencaharian tradisional. Dengan begitu, sawit benar-benar menjadi alat kesejahteraan, bukan sekadar ekstraksi.
Jadi, posisi kami jelas: sawit di Papua bisa jadi alat kemandirian energi dan ekonomi kalau dikerjakan dengan tata kelola yang ketat. Sumatra mengingatkan kita: ketika alam “dipaksa” tanpa pagar, hujan ekstrem bisa berubah jadi tragedi. Papua berhak maju, tapi juga berhak tetap punya hutan yang utuh dan masyarakat adat yang dihormati.
Ditulis Oleh:
Julianda Arisha S.H. M.I.P.
Founder IDRC
Reporter: Jhul-Ohi




