BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

BEM Nusantara Gorontalo Gelar Dialog Publik Soroti Korupsi Struktural


GORONTALO, suaraindonesia1.com
— Dalam momentum Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia), BEM Nusantara Gorontalo menggelar Dialog Publik bertema “Meneropong Akar Masalah Korupsi dan Solusi yang Realistis serta Berkelanjutan di Provinsi Gorontalo”. Kegiatan ini bukan sekadar forum diskusi seremonial, melainkan ruang kritik terbuka terhadap praktik korupsi yang terus berulang dan seolah dibiarkan menjadi bagian dari sistem pemerintahan daerah.


Wakil Koordinator BEM Nusantara Gorontalo, Erwin Ibrahim, menegaskan bahwa korupsi di Provinsi Gorontalo hari ini bukan lagi fenomena tersembunyi, melainkan kenyataan struktural yang lahir dari lemahnya integritas kekuasaan dan tumpulnya keberanian penegakan hukum.


“Korupsi tidak terjadi karena kurangnya aturan, tetapi karena kekuasaan terlalu nyaman melanggar aturan. Ketika hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas, maka korupsi tumbuh subur dan diwariskan secara sistematis,” ujarnya.


Ia mengkritik pola pemberantasan korupsi yang selama ini hanya berorientasi pada penangkapan kasus demi kasus, tanpa menyentuh akar persoalan berupa buruknya tata kelola anggaran, minimnya transparansi kebijakan publik, serta lemahnya pengawasan internal dan eksternal pemerintah daerah.


Menurut Erwin, kondisi tersebut menunjukkan bahwa korupsi bukan sekadar kejahatan individu, tetapi produk dari sistem yang sengaja dibiarkan cacat.


“Jika sistemnya sehat, maka individu yang menyimpang bisa dicegah. Namun ketika sistemnya rusak, orang jujur justru disingkirkan. Inilah wajah korupsi struktural di Gorontalo,” tegasnya.


Dalam dialog publik tersebut, mahasiswa secara kritis menyoroti pentingnya reformasi birokrasi yang nyata, keterbukaan informasi publik, serta keberanian aparat penegak hukum—khususnya kejaksaan dan kepolisian—untuk berdiri di atas kepentingan keadilan, bukan kekuasaan dan relasi politik.


BEM Nusantara Gorontalo juga menegaskan bahwa solusi atas korupsi harus bersifat realistis dan berkelanjutan, bukan berhenti pada jargon Hakordia yang diulang setiap tahun tanpa perubahan signifikan.


“Pencegahan korupsi harus dimulai dari perombakan sistem, bukan hanya pencitraan. Digitalisasi layanan publik, partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran, serta sanksi tegas tanpa pandang bulu adalah langkah minimum yang wajib dilakukan,” jelas Erwin.


Korupsi ibarat akar pohon beracun: ia tidak selalu terlihat di permukaan, namun perlahan merusak tanah tempat masyarakat berpijak. Menebang rantingnya tidak akan menghentikan racun itu tumbuh kembali. Tanpa keberanian mencabut akarnya—yakni sistem yang rusak dan kekuasaan yang abai—korupsi akan terus hidup, berganti wajah, dan menelan masa depan.


Hakordia, dalam pandangan mahasiswa, bukanlah perayaan simbolik, melainkan pengingat bahwa diam adalah bentuk lain dari pembiaran.


“Mahasiswa akan terus menjadi alarm moral. Ketika kekuasaan kehilangan rasa malu, maka kritik adalah bentuk paling jujur dari cinta terhadap daerah ini,” tutup Erwin mewakili pernyataan penutup bahwa mahasiswa tidak akan berhenti menjadi penonton dalam drama korupsi yang terus dipentaskan oleh elite.


(JO)

« PREV
NEXT »