BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

KELALAIAN DIAKUI RS MULTĀZAM, PIHAK RS SEGERA EVALUASI MENYELURUH: DESAKAN PROSES ETIK DAN PIDANA DOKTER AW MENGUAT


GORONTALO, suaraindonesia1.com
– Kasus dugaan kelalaian medis di RS Multāzam memasuki fase yang semakin serius. Setelah rumah sakit secara terbuka mengakui perubahan metode operasi persalinan dari ERACS ke caesar konvensional tanpa persetujuan pasien, sorotan publik kini mengarah tajam pada dokter yang melakukan tindakan tersebut. Desakan agar dokter bersangkutan segera diproses, baik secara kode etik kedokteran maupun pidana, kian tak terbendung.


Aktivis muda Gorontalo sekaligus Koordinator Aksi, Kevin Lapendos, menegaskan bahwa kasus ini butuh keterangan langsung dari dokter yang melakukan tindakan operasi, yakni dokter berinisial AW, yang sejak awal diketahui sebagai pihak pemberi surat pengantar operasi ERACS.


“Di sini letak kelalaian paling serius. Dokter yang sama memberikan surat pengantar ERACS, namun kemudian melakukan operasi dengan metode berbeda tanpa persetujuan pasien. Itu bukan kesalahan kecil, itu pelanggaran berat,” tegas Kevin.


Menurut Kevin, perubahan metode operasi dari ERACS ke caesar konvensional tanpa informed consent bukan hanya kesalahan administratif rumah sakit, melainkan tindakan medis yang secara langsung berada di bawah tanggung jawab dokter operator.


“Tidak bisa berlindung di balik sistem rumah sakit. Tindakan medis dilakukan oleh dokter. Maka dokter AW harus segera diproses, baik secara etik kedokteran maupun secara hukum,” ujarnya.


Kevin menegaskan bahwa pengakuan kelalaian oleh pihak RS Multāzam sejak awal — yang disebut disebabkan oleh miskomunikasi internal RS, bukan oleh pasien — justru memperkuat dugaan adanya kelalaian serius, bukan melemahkannya.


“Miskomunikasi internal itu urusan manajemen. Tapi tubuh pasien bukan ruang eksperimen akibat gagalnya koordinasi. Kelalaian tetaplah kelalaian,” katanya.


Ia menilai, secara hukum, tindakan tersebut patut diuji melalui pasal pidana kelalaian dalam KUHP, khususnya ketentuan yang mengatur perbuatan karena kealpaan yang mengakibatkan penderitaan atau luka pada orang lain. Selain itu, Undang-Undang Kesehatan secara tegas mewajibkan adanya persetujuan pasien atas setiap tindakan medis, terutama jika terjadi perubahan metode yang berdampak langsung pada kondisi fisik pasien.


“Unsur kelalaian itu ada: kewajiban kehati-hatian, kemampuan untuk bertindak sesuai prosedur, dan akibat yang ditanggung pasien. Maka alasan miskomunikasi tidak relevan secara hukum,” tegas Kevin.


Kevin juga menolak keras jika kasus ini kembali diarahkan hanya pada rekomendasi evaluasi menyeluruh sebagaimana yang muncul dari DPRD. Menurutnya, rekomendasi tersebut bukan kesimpulan hukum, apalagi penyelesaian atas dugaan pelanggaran yang telah diakui.


“Evaluasi bukan vonis, bukan sanksi, dan bukan keadilan. Jika berhenti di situ, maka DPRD ikut melanggengkan impunitas,” katanya.


Ia secara terbuka mendesak IDI dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) untuk segera menggelar sidang etik yang transparan, terbuka, dan berani menyentuh substansi kasus, termasuk peran dokter AW sebagai operator tindakan.


“Jangan ada perlindungan profesi yang membabi buta. Etik kedokteran bukan alat untuk menyelamatkan reputasi, tapi untuk menjaga martabat profesi dan keselamatan pasien,” ujar Kevin.


Kevin memperingatkan, jika IDI dan MKEK memilih diam atau hanya memberikan sanksi simbolik, maka publik akan menilai bahwa mekanisme etik telah gagal total. Dalam kondisi tersebut, intervensi aparat penegak hukum menjadi mutlak diperlukan.


“Jika etik lumpuh dan negara ragu, maka rakyat akan memaksa negara untuk bertindak. Kami pastikan tekanan publik tidak akan berhenti,” tegasnya.


Ia memastikan akan ada gelombang aksi besar-besaran untuk mendesak aparat penegak hukum agar segera memproses pihak-pihak yang bertanggung jawab, termasuk dokter AW, sesuai pasal kelalaian yang berlaku.


“Kasus ini harus jelas: siapa bertanggung jawab, pasal apa yang diterapkan, dan sanksi apa yang dijatuhkan. Tanpa itu, ini bukan negara hukum, ini negara pembiaran,” pungkas Kevin.


Kasus RS Multāzam kini menjadi peringatan keras bagi dunia medis: pengakuan kelalaian tanpa konsekuensi hanya akan mempercepat runtuhnya kepercayaan publik. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah ada pelanggaran, tetapi siapa yang berani memprosesnya secara jujur dan terbuka.


Reporter: Jhul-Ohi

« PREV
NEXT »