BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

RDP Dinilai Gagal Substansi, Koordinator Aksi Kevin Lapendos Dorong Rapat Komisi Gabungan dan Siapkan Aksi Jilid II


GORONTALO, suaraindonesia1.com
– Gelombang kritik terhadap hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD Kota Gorontalo terkait dugaan malpraktik medis di RS Multazam kian menguat. Forum yang sejatinya menjadi instrumen pengawasan legislatif itu justru dinilai kehilangan fungsi korektifnya, karena tidak menghasilkan keputusan substantif yang berpihak pada perlindungan hak pasien.


Koordinator aksi pengawalan kasus, Kevin Lapendos, menyebut RDP yang telah digelar lebih menyerupai ritual administratif ketimbang ruang akuntabilitas publik. Menurutnya, tidak ada rekomendasi tegas, tidak ada batas waktu penyelesaian, serta tidak ada penegasan tanggung jawab terhadap pihak yang diduga melakukan pelanggaran etik dan profesional.


“RDP seharusnya menjadi forum koreksi, bukan sekadar ruang dengar yang berakhir tanpa kesimpulan mengikat. Ketika dugaan pelanggaran serius disikapi tanpa ketegasan, maka yang lahir adalah preseden buruk bagi sistem layanan kesehatan,” tegas Kevin.


Ia menilai kegagalan tersebut mencerminkan lemahnya keberanian politik DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan, terutama ketika berhadapan dengan institusi layanan kesehatan yang semestinya tunduk pada prinsip kehati-hatian dan perlindungan pasien.


Sebagai langkah korektif, Kevin memastikan pihaknya akan menyurat secara resmi kepada DPRD Kota Gorontalo untuk mendesak digelarnya rapat komisi gabungan, agar pembahasan kasus tidak lagi bersifat parsial dan normatif.


“Kasus ini menyentuh irisan kewenangan berbagai komisi—kesehatan, hukum, dan pengawasan. Karena itu, pembahasannya tidak boleh disederhanakan dalam satu RDP yang steril dari keputusan. Rapat komisi gabungan menjadi keharusan, bukan pilihan,” ujarnya.


Menurut Kevin, tanpa forum yang lebih komprehensif, DPRD berpotensi hanya menjadi penonton birokratis yang mencatat persoalan tanpa pernah menyelesaikannya. Padahal, kasus dugaan perubahan tindakan medis tanpa persetujuan pasien merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip informed consent dan etika kedokteran.


Ia juga menegaskan bahwa jika DPRD kembali gagal menunjukkan sikap tegas, maka aksi jilid II akan menjadi instrumen tekanan politik dan moral untuk memastikan kasus ini tidak tenggelam dalam kompromi kelembagaan.


“Ketika mekanisme formal kehilangan daya koreksinya, maka gerakan publik adalah konsekuensi logis. Ini bukan bentuk pembangkangan, melainkan upaya menjaga agar hukum, etika, dan keselamatan pasien tetap menjadi pusat kebijakan,” tandasnya.


Kevin menutup dengan pernyataan bahwa perjuangan ini bukan ditujukan untuk menjatuhkan individu tertentu, melainkan untuk memulihkan marwah sistem pelayanan kesehatan agar tidak kebal terhadap kritik dan pengawasan publik.


Hingga berita ini diturunkan, Kevin memastikan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini sampai tuntas apapun risikonya.


Reporter: Jhul-Ohi

NEXT »