BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

SEBUAH RUMAH BERNAMA MAPALA


Hidayat Mokambu (Kuskus Mapala, STI)

GORONTALO, suaraindodnesia1.com - Saya masih ingat hari pertama saya menginjakkan kaki di sekretariat Mapala. Sebuah ruangan sederhana di lantai 2 kampus hijau Gorontalo, dulunya bekas UKS yang kemudian disulap menjadi tempat berkumpul. Dindingnya penuh coretan, tikarnya sudah agak lusuh, aroma kopi saset baru saja diseduh, dan asap rokok lintingan memenuhi ruangan itu. Tidak ada yang mewah, tapi ada sesuatu yang membuat saya betah sejak awal: senyum ramah, tawa kecil yang pecah begitu saja, dan cara orang-orang di sana menyapa seolah saya sudah lama jadi bagian dari mereka.


Sejak saat itu, saya tahu: ini bukan sekadar organisasi. Ini rumah. Sebuah rumah yang bernama Mapala.


MAPALA, BUKAN SEKEDAR ORGANISASI

Bagi sebagian orang, Mapala mungkin hanya identik dengan kegiatan mendaki gunung, menjelajah hutan, atau melintasi sungai. Padahal, di dalamnya ada nilai yang jauh lebih besar. Mapala bukanlah tempat untuk mencari siapa yang paling kuat, siapa yang paling berani, atau siapa yang paling tahan. Mapala adalah ruang belajar, tempat menempa jiwa, dan wadah untuk memahami arti persaudaraan.


Di sana, saya menemukan sahabat yang berubah menjadi saudara. Saya menemukan perbedaan yang dipersatukan oleh cinta pada alam. Saya menemukan rumah di mana kebersamaan jauh lebih penting daripada ego pribadi.


TUDUHAN YANG MENYAKITKAN

Namun, saya tidak menutup mata bahwa di luar sana ada banyak pandangan miring tentang Mapala. Setiap kali ada tragedi yang menimpa kader dalam proses pengkaderan, Mapala sering menjadi pihak yang paling disalahkan. Ada yang bahkan dengan mudah melabeli Mapala sebagai organisasi keras, bahkan sampai menuduhnya sebagai pembunuh.


Tuduhan itu menyakitkan. Sebab siapa pun yang pernah benar-benar hidup di dalam Mapala tahu: Mapala bukan pembunuh.


Mapala tidak pernah mengajarkan untuk melukai.


Mapala tidak pernah mengajarkan untuk mengorbankan.


Mapala tidak pernah mengajarkan bahwa nyawa boleh dipertaruhkan demi gengsi.


Tragedi seharusnya tidak pernah terjadi, dan justru menjadi pengingat keras bagi kita semua bahwa keselamatan adalah hukum tertinggi yang wajib diutamakan di setiap langkah.


MAPALA, ADALAH RUMAH, BUKAN KUBUR

Saya belajar banyak hal ketika berada di Mapala. Bahwa kekuatan sejati tidak diukur dari otot, tetapi dari hati yang peduli. Bahwa keberanian sejati bukan tentang menantang maut, melainkan menjaga agar tidak ada saudara yang jatuh.


Mapala bukanlah kubur bagi generasi muda. Ia adalah rumah yang membesarkan jiwa-jiwa pecinta alam. Mapala bukanlah arena balas dendam antargenerasi. Ia adalah ruang di mana nilai persaudaraan diwariskan dengan cinta.


Pengkaderan yang benar bukanlah ajang menyiksa, melainkan ajang menempa. Bukan ajang membuktikan siapa yang paling keras, melainkan ajang mengajarkan siapa yang paling berjiwa besar.


BELAJAR DARI KEHILANGAN

Kehilangan seorang saudara dalam pengkaderan adalah duka bagi kita semua. Tidak ada satu pun kader Mapala yang ingin hal itu terjadi. Air mata yang jatuh dari keluarga korban adalah luka yang juga dirasakan oleh keluarga besar Mapala.


Namun kehilangan bukan alasan untuk mengubur Mapala dengan stigma buruk. Kehilangan adalah panggilan agar kita semua belajar. Kehilangan adalah peringatan agar kita lebih bijak, lebih berhati-hati, dan lebih mengutamakan keselamatan.


Jika satu nyawa hilang, semua harus belajar.

Jika satu jiwa pergi, semua harus berubah.

Jika satu generasi jatuh, generasi lain harus bangkit dengan bijak.


Bagi saya, Mapala adalah cinta, bukan luka. Di sana saya belajar berbagi air ketika kehausan, berbagi tenaga ketika kelelahan, dan berbagi tawa ketika kesedihan datang. Di sana saya belajar bahwa setiap kader adalah saudara, dan setiap saudara adalah amanah yang harus dijaga.


Mapala mengajarkan saya untuk menghormati alam sekaligus menghormati manusia. Bahwa kita bisa kuat tanpa harus menyakiti. Bahwa kita bisa tegas tanpa harus mengorbankan. Bahwa kita bisa berproses tanpa harus kehilangan.


Lebih dari itu, Mapala juga membekali saya dengan keterampilan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Karena Mapala, saya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak—pekerjaan yang bahkan jauh dari jurusan kuliah saya. Apa yang saya pelajari di Mapala—tentang kepemimpinan, manajemen kegiatan, komunikasi, hingga menghadapi tantangan—ternyata menjadi bekal nyata yang membuat saya dipercaya di dunia kerja.


Hari ini, saya ingin berkata dengan lantang: Mapala bukan pembunuh. Mapala adalah rumah, keluarga, dan cinta yang menyatukan banyak jiwa. Jika ada luka, mari kita rawat. Jika ada duka, mari kita belajar. Jika ada kehilangan, mari kita pastikan itu menjadi yang terakhir.


Sebab Mapala, sejak awal berdirinya, bukanlah tempat untuk mengubur mimpi anak muda. Mapala adalah tempat untuk menumbuhkan harapan, membesarkan jiwa, dan membangun persaudaraan yang abadi.

« PREV
NEXT »