BREAKING NEWS
latest
header-ad

468x60

header-ad

Kata “Calo”, Cerminan Kualitas Anggota DPR Gorut

Oleh: Adrian Pianus. 

GORONTALO UTARA - SuaraIndonesia1.com, (Opini) – Pernyataan Ketua Komisi III DPRD Gorontalo Utara, Dheninda Chaerunnisa, yang mengingatkan PPPK paruh waktu agar tidak memberikan uang kepada “calo”, semestinya menjadi pesan moral bagi publik. Namun, ketika disampaikan tanpa dasar dan bukti yang jelas, pernyataan itu justru berubah menjadi bumerang yang memantulkan cermin kualitas seorang wakil rakyat. Kata “calo” yang dilontarkan tanpa konteks memperlihatkan betapa dangkalnya pemahaman sebagian anggota dewan terhadap realitas sosial yang sedang terjadi di daerahnya sendiri.


Perjuangan PPPK paruh waktu di Gorontalo Utara adalah gerakan moral, bukan transaksi politik. Mereka berjuang karena hak mereka terabaikan, bukan karena ingin membeli posisi. Mereka bergerak melalui jalur aspirasi, mendatangi kantor pemerintah, berdialog dengan DPRD, dan mengedepankan transparansi. Maka, ketika perjuangan semacam itu tiba-tiba diseret dengan istilah “calo”, publik wajar marah. Sebab tudingan itu bukan hanya salah sasaran, tapi juga menistakan perjuangan rakyat kecil yang selama ini berjuang dengan kepala tegak.


Istilah “calo” seolah menjadi senjata retoris yang digunakan untuk membangun citra moral, tapi tanpa tanggung jawab. Jika memang ada praktik percaloan, seharusnya DPRD menunjukkan bukti dan mengambil langkah hukum, bukan sekadar melempar kata ke ruang publik lalu bersembunyi di balik niat baik. Karena tanpa data, ucapan seperti itu tidak lagi menjadi imbauan, melainkan fitnah yang terbungkus formalitas jabatan.


Dari sisi komunikasi politik, pernyataan seorang pejabat publik memiliki efek performatif: kata-kata bukan sekadar alat menyampaikan pesan, tetapi juga tindakan yang membentuk realitas sosial (Austin, Speech Act Theory, 1962). Ketika seorang anggota DPRD mengucapkan istilah “calo”, publik tidak hanya mendengar kata, tetapi menafsirkan posisi moral dan politik dari lembaga yang diwakilinya. Oleh karena itu, kesalahan dalam memilih diksi dapat berujung pada krisis kredibilitas institusi.


Dalam perspektif etika komunikasi publik (Habermas, Theory of Communicative Action, 1984), setiap komunikasi pejabat publik seharusnya mengandung tiga nilai utama: kejujuran (truth), ketepatan norma (rightness), dan ketulusan (sincerity). Ketika sebuah pernyataan tidak didukung bukti, ia kehilangan nilai kebenaran; ketika melukai pihak yang berjuang, ia kehilangan ketepatan norma; dan ketika disampaikan untuk pencitraan, ia kehilangan ketulusan.


Sayangnya, ini bukan kejadian baru. Banyak pejabat publik di daerah yang lebih suka memainkan kata daripada menghadirkan solusi. Mereka berlomba menjadi “paling bersih” di depan kamera, tapi lupa bahwa yang rakyat butuhkan bukan nasihat moral, melainkan keberpihakan nyata. Mereka berbicara tentang integritas, tapi gagal menegakkan empati. Mereka bicara soal pengawasan, tapi abai pada substansi persoalan. Kata “calo” hanya menjadi topeng untuk menutupi ketidaktahuan.


Seorang wakil rakyat yang cerdas seharusnya paham kapan berbicara dan bagaimana memilih diksi. Mengingatkan publik tentu penting, tetapi jauh lebih penting menjaga agar ucapan tidak melukai pihak yang sedang memperjuangkan haknya. Menyebut “calo” tanpa dasar di tengah perjuangan PPPK hanya memperlihatkan bahwa sebagian pejabat kita tidak memahami penderitaan rakyat, melainkan hanya mengamati dari balik kaca ruang kerja ber AC.


Lebih buruk lagi, pernyataan semacam ini berpotensi memecah solidaritas antara tenaga honorer dan para aktivis yang selama ini mendampingi perjuangan mereka. Kata “calo” menimbulkan kecurigaan baru, seolah perjuangan tulus dari masyarakat sipil dipenuhi kepentingan. Padahal, yang sebenarnya perlu diawasi bukan gerakan rakyatnya, tapi sistem birokrasi yang sering kali lambat, tidak transparan, dan membuka ruang bagi praktik kecurangan itu sendiri.


Kualitas anggota dewan tidak diukur dari seberapa sering mereka bicara di media, melainkan dari seberapa tepat mereka berbicara dan seberapa jujur mereka mendengar. DPRD semestinya menjadi jembatan antara rakyat dan kebijakan, bukan menara gading yang sibuk mencitrakan diri dengan kata-kata yang salah arah. Kata “calo” yang diucapkan tanpa bukti justru menurunkan martabat lembaga dan memperlihatkan krisis empati di dalam tubuh DPRD itu sendiri.


Pada akhirnya, pernyataan tentang “calo” bukan lagi sekadar imbauan moral, tapi potret buram dari cara berpikir sebagian elit politik lokal. Ia mengajarkan kita bahwa jabatan tidak selalu sejalan dengan kedewasaan, dan kekuasaan tidak selalu identik dengan kebijaksanaan. Kata “calo” kini menjadi cermin, bukan untuk menilai rakyat, tetapi untuk menilai sejauh mana kualitas seorang wakil rakyat memahami makna keadilan dan tanggung jawab di hadapan publik yang diwakilinya.

« PREV
NEXT »