GORONTALO, suaraindonesia1.com – Polemik pemanfaatan trotoar di Provinsi Gorontalo kembali mencuat dan menjadi bahan perdebatan publik. Di tengah maraknya aktivitas pedagang kaki lima (PKL) serta kebijakan penataan ruang kota yang kerap berubah arah, muncul gesekan kebijakan antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Gorontalo.
Menanggapi hal tersebut, Risky, selaku Menteri Hukum dan HAM Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Ichsan Gorontalo, memberikan stegiment tajam terhadap inkonsistensi arah kebijakan kedua pihak. Ia menilai, kebijakan trotoar di Gorontalo saat ini lebih mencerminkan kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan rakyat.
“Kita perlu bertanya secara jujur — apakah kebijakan penataan trotoar ini benar-benar untuk rakyat atau sekadar mempercantik wajah kota demi kepentingan penguasa? Banyak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil, justru menekan mereka yang berjuang dari ekonomi jalanan,” tegas Risky dalam keterangan persnya, Selasa (21/10/2025).
Risky menyoroti bahwa imbauan Pemprov Gorontalo kepada Pemkot Gorontalo untuk menertibkan aktivitas PKL dan UMKM di trotoar — terutama di kawasan Jalan Tanggidaa, Jalan Hos Cokroaminoto, dan Jalan Andalas — telah menimbulkan pro dan kontra yang kuat di tengah masyarakat.
Sebagian pihak mendukung langkah tersebut karena dianggap penting untuk mengembalikan fungsi trotoar sebagai ruang pejalan kaki, namun di sisi lain, para pedagang menilai kebijakan itu tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan ekonomi rakyat kecil.
“Menertibkan boleh, tapi di mana solusi bagi para pedagang? Jangan sampai trotoar dijadikan alasan untuk menyingkirkan rakyat kecil tanpa memberi ruang alternatif. Pemerintah seharusnya hadir dengan kebijakan yang humanis, bukan hanya dengan penertiban yang represif,” ujar Risky menambahkan.
Menurutnya, perbedaan pandangan antara Pemprov dan Pemkot menggambarkan lemahnya koordinasi serta absennya arah kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Ia menilai, trotoar sebagai fasilitas publik telah kehilangan makna sosialnya karena diintervensi oleh kepentingan proyek dan estetika semata.
“Fungsi trotoar bukan hanya infrastruktur fisik, tapi juga simbol dari keadilan ruang publik. Kalau trotoar dikuasai oleh kebijakan yang tak berpihak, maka sesungguhnya yang hilang bukan sekadar ruang pejalan kaki, melainkan ruang hidup rakyat kecil,” tutur Menteri Hukum dan HAM BEM Ichsan itu.
Risky juga menyerukan agar Pemprov dan Pemkot Gorontalo segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan penataan PKL dan pemanfaatan trotoar, dengan melibatkan elemen masyarakat sipil, akademisi, serta perwakilan pedagang.
“Kebijakan publik seharusnya dibangun atas dasar dialog, bukan sekadar imbauan dari atas ke bawah. Jika pemerintah tidak mendengarkan suara rakyat, maka trotoar bukan lagi tempat berjalan, melainkan simbol ketidakadilan,” pungkasnya.
Reporter: JO



