Skrinews - KONTRADIKSI ANTARA DARURAT SIPIL DENGAN KARANTINA WILAYAH DI TENGAH WABAH VIRUS YANG SEMAKIN MASIF


Rasongko Singgih Samiarto. 
Mahasiswa FISIP Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang.


Skrinews.com - Kalau kita berbicara mengenai wabah covid-19 memang tidak ada habis nya namun disisi lain segala upaya dan penanganan pun sudah di lakukan beberapa pekan terakhir ini, namun kalau kita analisis lagi ada perbedaan pandangan antara masyarakat, pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, Sebenarnya klo soal perbedaan itu tidak masalah yang menjadi problematika adalah soal kebijakan nya yg di ambil oleh pemerintah pusat yang memang cukup berbeda.
Dari beberapa masyarakat pun secara emosional bisa di bilang cukup panik dengan wabah ini yang semakin hari, semakin masif dalam perkembangan nya karena data statistik menunjukan bahwa tgl 31 maret 2020 sekarang sudah mencapai 1528 yg positif terkena virus covid-19 ini. Yang meninggal 136 orang dan yg sembuh 88 orang.
Sebenarnya yang ingin saya bahas adalah mengenai kebijakan pemerintah dengan masyarakat yg memang terkesan berbeda, karena jika memang problematika ini berlanjut tanpa ada singergis yg kuat antara pemerintah dengan masyarakat akan semakin sulit untuk melawan wabah ini, karena memang yg di lawan sekarang bukan perang dunia atau pun perang dingin, melainkan perang melawan virus yang peneyebaran nya sangat lah masif melebihi masa aksi.
Ada beberapa elemen masyarakat ataupun dokter yg mengingkan karantina wilayah, karena dalam UU Karantina Kesehatan pada UU no. 06 thn 2018 sedangkan pasal 55 ayat 1 tentang tanggung bahan pokok. Dengan begitu memang menunjukkan bahwa adanya sebuah karantina Rumah, Rumah Sakit, Wilayah, dan Pembatasan Sosial Skala Besar (sudah dilakukan dengan meliburkan sekolah, menutup tempat-tempat publik, dll). Namun dalam konsep karantina wilayah ini kalau kita memakai logika ya kita di kasih makan terlebih dahulu, baru di larang ke mana-mana, yang jelas karantina wilayah menunjukkan bahwa hanya membatasi mobilitas fisik masyarakat, karena memang jelas secara dalam undang-undang kebutuhan hidup warga negara dan hewan ternak yang mengalami karantina wilayah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Sedangkan pemerintah pusat sekarang mengumumkan PSBB (pembatasan sosial skala besar), nah bagi masyarakat awam terkesan ini membingungkan karena paradigma masyarakat Indonesia mayoritas tidak memahami sebuah istilah yang telah di umumkan oleh pemerintah pusat itu sendri, karena memang asumsi dari saya adalah dengan adanya PSBB ini akan mengalami darurat sipil yang ber ujung dapat membatasi gagasan, aspirasi bahkan gerak sosial itu sendri. Karena bisa di bilang setara dengan lockdown (karena ada aturan hukum baru dan jam malam dsb). pemerintah pusat mengambil keputusan darurat sipil dari perpu no 23 thn 1959 tentang keadaan bahaya, dan pasal 1 ayat 1 tentang waktu di berlakunya darurat sipil pasal 14 ayat 1 tentang penguasa berhak melakukan hal hal di antaranya penggeledahan, nah kalau kita flashback sebenernya Indonesia pernah mengalami darurat sipil walaupun beda konteks tapi disi lain kita harus bisa belajar dari sejarah itu sendiri agar tidak masuk ke lobang yang sama atau dapat melakukan kesalahan lagi, karena negara ini sudah melakukan blunder terlalu banyak pada rakyat, yang awal nya terkesan ngeremehin wabah ini sampai soal kebijakan yang sekarang terkesan lambat untuk secara penanganan nya, maka dari itu wajib bagi kita untuk belajar dari sejarah guna memberikan dampak yang baik bagi masyrakat maupun masa depan, karena kita pernah melakukan darurat militer pada thn 2003 – 2004 dan atas nama GAM akhirnya berujung pada darurat sipil yaitu tahun 2004-2005, apa yang terjadi saat itu? Bukan membuat masyarakat semakin tentram atau pun tenang melainkan yang menjadi korban paling banyak adalah dari kalangan warga sipil , lantas sekarang mau pakai  darurat sipil lagi di tengah pandemic covid-19 yang di mana semakin banyak memakan korban, oleh karena itu pemerintah pusat sebenernya tidak punya waktu yang banyak untuk penanganan wabah ini, karena setiap hari korban semakin bertambah.
Logika nya pemerintah pusat berlomba – lomba adu kecepatan dengan virus ini, jadi antara pencegahan negara lebih cepat ataukah virus lah yang lebih cepat dari pada keberadaan negara, dan kalau kita kaji lebih dalam lagi seharus nya tanpa ribet pemerintah pusat menggunakan opsi karantina wilayah yang di mana di situ sudah jelas dlam UU bahwa antara masyarakat, medis, aparat dan pemerintah akan saling sinergis satu sama lain. Masyarakat di berikan hak untuk bertahan hidup,medis di berikan APD yang sesuai SOP,aparat berjaga di setiap wilayah karantina, dan pemerintah pusat menganalisis,memberikan data perkembangan stastik yg objektif, memberikan kebijakan jika ada sesuatu yang terjadi, dan me mobilisasi setiap kebijakan secara komprenhensif.
Tapi yang jelas (masyarakat) hanya mengingatkan bahwa negara harus hadir untuk rakyat dan tenaga medis, karena lagi-lagi rakyat yang paling banyak terkena virus ini dan para medis di garda terdepan harus disuport oleh pemerintah pusat, rekontruksi nya yg seharus nya mendapatkan test virus untuk skala priorotasnya mengedepankan bagi rakyat yg rentan (medis), bukan mendahulukan pejabat saat wabah, pejabat diam, begitu heboh minta duluan. Sekian…